Senin, 04 Februari 2013

#DayFour : Sepenggal Puisi…



A poet is, before anything else, a person who is passionately in love with language  (W.H. Auden)


Dear Ms. Wijayakusuma,

Sore ini hujan turun. Cukup deras walau hanya untuk sesaat lalu terhenti. Tak hujan sepenuhnya usai dan rintik hujan masih membasahi bumi. Kuangkat gelas teh milikku dari meja makan menuju teras rumah. Mencoba untuk menikmati segelas teh hangat sembari menanti hujan reda.

Aku bukan menantikan hujan reda karena ingin pergi menjelajah. Rasanya juga belum ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Hanya ingin menanti hujan reda, tak lebih dari itu. Karena itu aku rasa menanti pelangi disaat hujan berhenti akan menjadi sangat manis, apalagi jika pelangi datang disaat matahari jatuh dalam pelukan senja. Sejenak aku teringat akan satu hal, puisi. Ya, rasanya aku menyimpan beberapa puisi yang aku tuliskan ketika hujan turun.

Apa koneksi hujan dan puisi? Entahlah, aku sendiri pun masih tidak bisa memahaminya dengan pasti. Hanya saja ada rasa dimana kata-kata bisa mengalir seperti butir-butir air yang turun ke bumi, kadang perlahan tapi bisa juga begitu deras. Lalu apa hubungan puisi dengan kamu? Tentu saja ada hubungannya. Kamu itu penyuka puisi, walaupun aku tahu kamu tak suka untuk menuliskannya. Kamu lebih suka untuk menikmati orang-orang lain untuk membacakannya. Bagimu itu begitu menyenangkan. Apalagi jika orang yang membacakan puisi itu adalah sosok favoritmu, Landung Simatupang.

Aku selalu tak pernah bosan mendengarkan ceritamu yang penuh semangat ketika berbicara tentang Landung Simatupang. Sosok yang kamu gambarkan begitu indah dan luar biasa dalam pandanganmu. Tentu saja aku tak bisa mengatakan satu hal apapun. Jikalau dibandingkan, tentu saja aku akan kalah telak. Aku jelas tak bisa menyaingi sosok yang kamu kagumi itu. Bahkan dalam tingkatan yang begitu jauh. Tapi aku tahu satu hal yang bisa menghubungkan aku dengan sosok Landung Simatupang. Kami sama-sama mencintai kata, tentu saja dengan aplikasi yang berbeda.

Sejenak teringat akan satu hal. Lalu kubuka catatan kecilku dan kutemukan beberapa tulisan. Perlahan aku mulai mencoba mengingat semua tulisan itu dan beberapa diantaranya terselip puisi-puisi yang kubuat ketika hujan turun. Kemudian kutemukan ada satu buah puisi yang belum lama ini kutuliskan untukmu. Aku membuatnya ketika hujan jatuh dan senja datang ketika hujan reda, begitu cantik. Berikut ini puisinya :

Romantika Hujan pada Sebuah Senja

Segelas teh panas,
 cukup panas sampai asap masih terlihat
Musik klasik yang terus diputar,
berulang-ulang tanpa membuatku bosan
Lalu sebuah catatan sederhana,
dan satu buah pena dengan tinta hitam
Tumpukan kata-kata yang siap dirangkai
entah berapa ratus, bahkan ribu mungkin
Apa yang lantas kita lakukan dengan ini semua?
Membiarkannya menjadi tak berarti kah?

Dalam segelas teh panas kutemukan kata-kata
Mereka muncul bersama dengan kepulan asap,
yang muncul dari dalam gelas
Kulihat pula bagian dalam gelas teh
Kutemukan kata-kata dirangkai oleh daun-daun teh
Yang menari pada dasar gelas
Lalu aku pun larut bersama harmoni segelas teh panas

Disaat yang bersamaan pula aku mendengar suara,
yang datang dan terangkai begitu saja
dari sebuah gramophone tua milik kakek
Tanpa sadar aku membiarkan diriku menari
Bersama dengan suara-suara,
yang terbentuk dari rangkaian kata-kata
dengan nada-nada yang klasik
alunan melodi senja,
dan juga sedikit romantik
Lalu aku pun larut bersama melodi musik klasik,
dari gramophone tua

Aku pun menggoreskan lembaran-lembaran kosong,
dengan tinta hitam, yang sudah hampir hilang
perlahan garis-garis itu terputus
berulang kali pula aku harus membuatnya jadi lebih tebal
Membiarkan tangan ini menari
Bukan pada sebuah kanvas, tapi lembaran kosong
Bukan melukis, tapi menarikan rangkaian kata-kata
Menyusun ribuan kata menjadi pepat
Tak membiarkannya menjadi tumpukan kata
Meniupkan jiwa
Menghidupkan makna
Lalu aku pun hanyut dalam sinergi,
dalam lembaran kertas kosong dan juga sebuah pena tinta hitam

Disanalah kutemukan kamu
Bersembunyi dalam ribuan kata
Menjelajah setiap kalimat-kalimat yang tertulis
Menyanyikan setiap bait yang disuarakan
Merangkai semuanya menjadi satu kesatuan
Harmoni,
Melodi,
Sinergi
Akankah aku dan kamu,
menemukan kita didalamnya?
Kita menyanyilah dalam nada,
Kita menarilah dalam kata,
Kita berputar dan terus berputar
Kita akhiri semuanya dengan segelas teh,
dan dalam pangkuan senja
Sampai pada akhirnya kita terlelap

Inilah penggalan puisi yang kutuliskan untukmu, ditengah hujan yang turun perlahan. Ya, jelas masih kalah jauh dengan sosok idolamu, Landung Simatupang, tapi paling tidak aku mencoba untuk merangkai kata sebisaku. Mudah-mudahan saja bisa membuatmu tersenyum dan mungkin membuat Landung Simatupang tertarik pada tulisanku barangkali? Dan aku pun tahu bahwa kamu akan tersenyum kecil membaca kalimat terakhir tadi.

Segera saja kubereskan komputer jinjing milikku, tapi rasanya ada yang kurang jika tidak mendengarkan satu buah lagu sebelum mengakhiri malam ini. Angsa dan Serigala – Bersamaku pun dimainkan melalui pemutar lagu di komputer jinjingku. Setelah lagu usai diputar baru lah aku mencoba memainkan kata-kata dalam pikiranku hingga akhirnya aku terlelap perlahan. Barangkali dalam mimpi aku bisa berbincang denganmu dan juga Landung Simatupang.

From dearest,

Mr. Rainbow

#DayFour, rangkaian ke-empat dari empat belas tulisan.

Minggu, 03 Februari 2013

#DayThree : Para Pemburu Senja





There’s never one sunrise the same or one sunset the same (Carlos Santana)



Dear Ms. Wijayakusuma,

Aku masih teringat dengan obrolan kita melalui pesan singkat dari telepon genggam kala itu. Kita membicarakan tentang senja, dan tak pernah bosan pula kita membiarkan diri kita larut di dalamnya. Senja, ya senja. Entah kenapa senja itu begitu memikat dan akhirnya membawa kita kepada sebuah perbincangan panjang tanpa akhir. Sampai pada satu titik ada sebuah percakapan menarik yang membuat senja menjadi lebih menyenangkan.

Selama penelitian kamu selalu saja bercerita bahwa kamu sangat menginginkan senja datang. Ada banyak tempat yang kamu anggap sangat menarik ketika kamu ingin menikmati senja disana. Namun sayangnya senja tak kunjung datang. Bukan karena dia tak mau, tapi karena awan terlalu serakah untuk menikmati senja. Selain awan ternyata hujan juga tak kunjung bersahabat. Mungkin hujan tahu bahwa senja disana terlalu cantik dinikmati sehingga dia ingin membuatmu kesal. Aku pun tahu, jelas itu semua itu membuatmu kesal. Sifat iseng dari awan dan juga sifat jahil dari awan akhirnya membuatmu menggembungkan pipimu. Itu adalah caramu menunjukkan betapa sebalnya kamu ketika seseorang atau apapun itu berbuat iseng ataupun jahil kepadamu.

Saat kamu bercerita itu semua, seketika ada sebuah ide yang terlintas dalam pikiranmu. Ide tentang menikmati senja. Mencari senja dimanapun dia tampak indah dengan gaun miliknya yang berwarna jingga, bahkan kadang berpadu dengan merah. Mencari dan terus mencari. Mungkin saja ini yang disebut sebagai berburu senja. Lalu tercetuslah dalam pikiranmu untuk menyebut diri kita sebagai para pemburu senja.

Pemburu senja, ya sangat menarik ketika mendengar kata itu. Sebelumnya aku selalu menganggap bahwa aku ini adalah kaum penikmat senja. Menikmati indahnya senja bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada satu titik sebelum berganti tugas dengan bulan. Dengan secangkir teh ataupun kopi dan juga obrolan ringan. Seakan waktu berjalan sangat perlahan ketika menikmati semua itu. Namun kamu menawarkan sesuatu yang lain, sebuah sebutan baru untuk menikmati dan berburu senja.

Ketika menyebut kata itu, pemburu senja, di dalam kepala ini kemudian tergambar banyak hal yang melintas dalam sekejap mata. Rekoleksi ingatanku tentang senja seakan dibongkar habis. Foto-foto yang kuambil dengan mataku ini kemudian seakan terpampang rapi dalam sebuah arsip. Arsip bertuliskan “Senja”. Lalu kubuka pelan-pelan arsip itu dan satu persatu foto dalam ingatan ini kemudian membuatku teringat momen-momen dimana senja itu terasa begitu menyenangkan. Mungkin inilah beberapa yang bisa kutunjukkan padamu, karena pada momen inilah senja itu tak hanya terekam dalam pikiranku.:


Judul : A Sea Walk into the Sunset



Judul : Sunset Lovers



Judul : Time Freeze for the Sunset


Ya, ini hanya beberapa foto yang ada di dalam arsip pikiranku dan juga ada di dalam komputer jinjing milikku.

Oh iya, aku juga teringat akan satu hal. Kamu juga memintaku untuk membawa ke sebuah tempat yang membuatmu penasaran. Beberapa kali ketika melewati tempat itu selalu saja kamu bilang, “bawa aku kesana”. Aku hanya tersenyum. Belum sempat aku mengajakmu untuk melihat tempat itu sebelum akhirnya kamu berangkat untuk menjalani masa penelitianmu. Rasanya akan jadi menarik ketika bisa menikmati senja ditempat itu, mudah-mudahan memang menarik seperti yang ada di dalam bayangmu.

Sekejap aku terdiam lalu tersenyum. Ah, sekarang rasanya aku benar-benar bisa menikmati senja dengan cara yang berbeda sebagai pemburu senja tentunya. Lalu aku mendengar sayup-sayup panggilan untuk makan bersama keluarga. Aku membiarkan satu lagu diputar sebelum akhirnya ikut kedalam panggilan itu. Payung Teduh – Menuju Senja diputar dan setelah usai aku pun segera membereskan komputer jinjing milikku. Lalu dalam pikiranku terlintas satu pikiran. Yakinlah esok itu akan menyenangkan, jangan takut bahwa esok hari akan begitu menyebalkan atau tidak bersahabat. Bukankah esok hari masih ada senja yang harus kita kejar?

From dearest, 

Mr. Rainbow

#DayThree, rangkaian ketiga dari empat belas tulisan.



#DayTwo : Sepotong Gambar dan Sebuah Pesan



"I dream of painting and then I paint my dream" (Vincent Van Gogh)



Dear Ms. Wijayakusuma,

Malam belum terlalu larut. Suara-suara itu terus saja bergaung cukup keras di dalam kepalaku. Melaui corong-corong suara itu mereka memberi tanda pada waktu. Aku hanya duduk terdiam sejenak dan berpikir. Banyak hal yang kemudian terus saja berlari di kepalaku sampai sebuah pesan singkat masuk ke dalam telepon genggam milikku. Ah, rupanya beberapa teman yang terus saja menggodaku untuk menghabiskan malam bersama mereka. Sekedar berbincang-bincang ataupun menghabiskan segelas kopi, meski pun mereka tahu bahwa aku tidak terlalu senang dengan kopi. Hanya aroma yang tercipta dari segelas kopi selalu saja membuatku tertarik. Selalu saja ada misteri dari balik bau kopi yang berbeda.

Namun masih saja aku belum tertarik untuk menghabiskan waktuku malam ini dengan menikmati segelas kopi. Aku sedang tertarik untuk menulis, dunia yang sudah lama aku geluti semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Seorang guru mengenalkanku pada dunia ini, dunia tanpa batas dimana aku bisa membiarkan jemariku menari mengikuti naluri dan membiarkannya mengalir dalam rangkaian kata-kata. Aku segera mengambil komputer jinjing milikku dan dengan segera aku menyalakannya. Entah kenapa hasrat untuk menulis begitu besar.

Aku membiarkan diriku duduk kemudian menatap layar komputer jinjing milikku tajam. Sempat kemudian terdiam sejenak untuk beberapa saat, rasanya ada hal yang ingin ditumpahkan tetapi kata-kata yang ada dalam kepala ini masih berserakan. Aku tampak kebingungan untuk membiarkan diriku tenggelam dalam kata-kata. Ah, sebuah kesalahan memang membiarkan diriku beku karena tak menjamah hangatnya kata-kata. Kemudian masih berputar-putar dengan kata yang ada dalam pikiranku tapi masih saja tak menemukan titik temu dimana aku bisa menuangkan segalanya. Lalu pesan singkat darimu masuk.

Ya, kamu yang biasanya selalu bercerita denganku tentang banyak hal dengan semangat yang meluap, membiarkan dirimu hanyut dalam arus penelitian. Karena itulah hanya dengan media pesan singkat semua ceritamu bisa tersampaikan. 2 minggu, bukan waktu yang cukup lama jika tak dihitung dengan jemari tapi tetap saja ada kerinduan untuk mendengar semua ceritamu. Hari ini kamu bercerita tentang betapa hangatnya suasana yang kamu dapatkan dalam penelitianmu. Aku tersenyum kecil. Kubalas pesan singkatmu dengan pesan singkat yang lainnya, meskipun aku tak yakin bahwa 360 karakter bisa dikatakan sebagai pesan singkat.

Aku kembali terfokus pada komputer jinjing milikku. Perlahan kata-kata mulai tersusun dan jemari ini mulai menemukan ritme-nya untuk bisa menari dengan indahnya pada setiap huruf tak beraturan yang ada di komputer jinjing milikku ini. Aku menulis sesuatu yang aku sendiri bahkan tak tahu. Hanya membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Di saat jemariku sedang menari dengan anggun, satu pesan singkat darimu masuk. Lagi, kamu bercerita tentang betapa menyenangkannya dunia baru yang kamu temukan. Dan lagi pula aku membiarkan senyum terlukis diwajahku.

Aku pun membiarkan diriku mengacuhkan komputer jinjingku untuk sesaat dan membalas pesan singkatmu. Ah, rasanya cukup rindu tapi apakah rindu cukup menggambarkan semuanya? Rasanya tetap saja ada yang tak mampu rindu gambarkan. Lalu terpikirkan olehku untuk membuat sebuah gambar dengan tangan yang mungkin mampu menggambarkan itu semua. Kuambil penaku dan mulai menggoreskannya pada sebuah kertas berwarna putih diatas meja kayu yang cukup lebar. Aku membiarkan diriku tenggelam dan membiarkan tanganku menari dengan indahnya menggoreskan sebuah gambar sederhana yang menggambarkan kerinduan.



Judul : A Girl with a Sun on the right hand, Rainbow on the left hand
Judul : A Girl with a Sun on the right hand, Rainbow on the left hand (2)



Rasanya gambar ini mungkin saja terlalu sederhana, tapi rasanya cukup menggambarkan tentang kerinduan. Rindu akan celotehmu yang selalu saja bisa melukiskan sebuah simpul di wajahku. Tak banyak yang mampu menggambarkan itu, mereka bilang aku terlalu kaku. Tapi kamu seakan dengan mudahnya menggoreskan itu dan tak pernah ada alasan untuk tak tersenyum melihat apapun yang kamu lakukan.

Lalu aku lihat dengan seksama ternyata pesan singkat darimu telah masuk sedari tadi ketika aku membiarkan diriku masuk dalam dunia lukisan. Lagi cerita-cerita menarik tak kunjung henti kau ceritakan sampai pada akhirnya kau terlelap. Biasanya aku terlelap terlebih dahulu tapi nampaknya waktumu untuk terlelap disana jauh lebih cepat. Lalu kumainkan sebuah lagu dari daftar lagu yang biasa aku dengarkan dari komputer jinjingku, satu tembang dari Foo Fighters yang berjudul Everlong. Kudengarkan perlahan hingga aku sendiri tenggelam dalam lelapku dan membiarkan komputer jinjingku menyala.

From dearest, 


Mr. Rainbow

 #DayTwo, rangkaian kedua dari empat belas tulisan.

Jumat, 01 Februari 2013

#DayOne : Sebuah Awal…


“Start every day off with a smile and get it over with” (W.C. Fields)


Dear Ms. Wijayakusuma,

Rasanya akan sangat tidak adil ketika kita berbicara tentang sebuah cerita tanpa awalan. Orang bilang bagian awal itu kunci agar orang tertarik lebih dalam untuk masuk ke dalam sebuah tulisan. Aku rasa hal itu mungkin saja tepat. Tapi tidak ada yang lebih menarik memang dari sebuah awal cerita, yang tentu saja meninggalkan sebuah kesan.

Awalnya kita tak saling mengenal, bahkan mungkin belum saling bertatap muka. Hanya sekedar mengerti tapi belum memahami. Masih abu-abu, samar dan tak bisa dijelaskan dengan rangkaian kata. Apa yang membuatnya menjadi menarik? Sampai pada hal ini aku sendiri pun bahkan belum bisa menjelaskan. Aku dan kamu, rasanya berpapasan saja mungkin bisa dikatakan tak pernah. Aku terlalu lama tenggelam dalam duniaku sendiri, dunia di luar hiruk pikuk kampus. Sedangkan kamu, jelas saja masih masuk ke dalam sebuah dunia yang belum kau jamah sebelumnya dan itu pasti membuatmu penasaran.

Seharusnya, pada saat inisiasi berlangsung kita berpapasan. Entah mengapa kita sama-sama lupa ada dimana kita dan seperti apa kita pada waktu itu. Terlalu gelap. Mungkin malam sengaja membiarkan kita untuk tak saling mengenal terlebih dahulu. Bahkan ketika inisiasi usai seharusnya aku menjabat tanganmu, tapi entah kenapa aku sendiri pun tak bisa mengingatnya. Yah, aku memang bukan pengingat yang baik. Belum sempat bertegur sapa dan bercengkrama dengan semua orang, lagi-lagi aku harus segera turun. Bukan karena tak mau mengenal, tapi karena aku tak membawa kendaraanku sendiri. Mau tak mau tentu harus ikut dengan jadwal teman baikku karena memang dari awal kita memutuskan untuk pergi menghadiri inisiasi bersama. Lalu momen itu terlewati begitu saja. Waktu masih belum mengijinkan kita untuk saling mengenal rupanya.

Mungkin saja kita baru sadar bahwa kita benar-benar terhubung melalui sosial media. Awalnya tak menyangka bahwa ada akunmu dalam daftar orang-orang yang mengikuti aku, melalui sosial media yang menggunakan logo burung kecil. Dari momen itulah sempat terjadi beberapa kali percakapan walau hanya sosial media karena kita mengenal beberapa orang yang sama. Sampai pada satu momen yang kemudian membuat segalanya menjadi berbeda.

Dengan bersemangat aku meminta nomor telepon genggam milikmu. Bukan, bukan karena aku ingin mengenalmu. Justru karena sedang mencari informasi mengenai teman-temanmu lah aku bertanya kepadamu. Orang bilang mungkin ini hanya sekedar iseng, tapi sebetulnya tidak. Aku benar-benar sedang diberi tugas untuk mencari informasi tentang teman satu angkatanmu. Dari situlah kemudian percakapan baru benar-benar dimulai, permainan kata kemudian mengalir, dan semua seakan terasa begitu…lepas. Rasanya semua kata aku biarkan saja mengalir keluar dari dalam pikiranku tanpa harus meledakkannya.

Aku membiarkan semua proses yang terjadi mengalir begitu saja tanpa harus memaksakan apapun. Rasanya lebih nyaman ketika menjalani semuanya dengan sederhana. Apalagi aku biasa untuk bekerja di “bawah tanah”, jauh dari keramaian lini masa. Tapi apa cukup hanya sekedar kata saja?

Lalu pada satu hari, kita bertemu. Tak direncakan, terjadi begitu saja. Aku dan kamu bertemu di satu tempat penjaja es krim dan makanan ringan. Waktu itu kamu berkata kamu sendiri, menunggu seorang teman. Seketika itu pula ide untuk datang muncul dikepala tanpa diberi komando. Aku pun segera saja bergegas menghidupkan sepeda motor tuaku dan melaju perlahan sampai pada akhirnya tiba di tempat penjaja es krim itu. Mataku mencoba untuk mencari sosokmu, walaupun aku tahu mata ini belum cukup familiar denganmu. Tapi entah kenapa dengan begitu cepat pula mataku tertuju pada sosokmu. Kamu pun terkejut. Awalnya memang terasa canggung tapi perlahan kita membiarkan diri ini membangun sebuah menara kata-kata, bertukar cerita bahkan senyuman. Sebuah sore yang cukup melegakan dan penutup yang manis bagi aktifitas hari itu, karena aku rasa cukup penat seharian berurusan dengan birokrasi akademik yang menyebalkan. Hanya ada senyuman lebar yang terus terlukis di wajah ini.

Esoknya, tiba-tiba kamu menghilang. Entah apa yang terjadi aku sendiri pun tak tahu. Ya, hanya menghilang. Rasa penasaran pun sempat hinggap di kepala ini sambil terus berpikir apa yang terjadi. Sampai ketika senja tiba kamu muncul, membagikan cerita. Ada kesedihan di dalamnya dan aku rasa tidak mudah bagimu untuk ungkapkan semua itu. Aku merasa bahwa setidaknya ingin membuat senyuman yang meneduhkan kemarin bisa terlukis di wajahmu. Rasanya bersedih sama sekali tak cocok terlukis di wajahmu.

Lalu aku mencoba untuk datang dan menawarkan sebuah senyuman. Ah, bukan senyuman tapi pelangi…ya, pelangi. Aku selalu teringat dengan satu perkataan bijak bahwa pelangi membawa kebahagiaan dan keteduhan setelah hujan turun, bahkan setelah badai datang sekalipun. Maka aku pun mencoba untuk datang dan membawakan pelangi untukmu, membawa keteduhan dan senyuman itu kembali terlukis di wajahmu.

Jelas bukan hal yang mudah, membawa pelangi dengan ratusan bahkan jutaan warna di dalamnya. Ada banyak elemen didalamnya yang membuatnya begitu menarik, menenduhkan, dan membawa kebahagiaan. Walau berat aku mencoba untuk membawanya kepadamu, agar senyuman itu kembali. Dan pada akhirnya senyuman itu kembali terlukis, dan ada kebahagiaan dan keteduhan yang tersirat di dalamnya. Rasanya tugasku sebagai lelaki pembawa pelangi cukup bekerja dengan baik. Walaupun aku menyadari sepenuhnya bahwa mungkin aku belum cukup baik untuk membawa pelangi, paling tidak aku sudah berusaha semampuku untuk itu. Saat itulah kamu menyebutku sebagai “lelaki pembawa pelangi”.

Ah, rasanya cukup banyak hal yang aku dapat ceritakan. Namun rasanya tidak cukup adil bukan ketika membicarakan sebuah awalan dengan panjang lebar? Ya, perlahan tapi pasti aku akan bercerita hingga kau terlelap. Jadi segera saja kututup komputer jinjingku dan mulai memainkan pemutar musik milikku. Satu tembang yang muncul adalah Bruno Mars – Just the Way You Are dan bersama dengan tembang ini pula aku mulai memejamkan mataku, berharap kau membacanya hingga usai, dengan senyuman yang selalu terlukis diwajahmu. Sebenarnya ini tidak akan usai, karena dengan begitu semua jadi jauh lebih menarik bukan?

From dearest,


Mr. Rainbow


Rangkaian pertama dari empat belas tulisan, #14DaysProject

Perkenalan Singkat #14DaysProject

"I'm back to doing everything I used to, loving life as ever" (Donna Mills)

Dear Pembaca,

Apa kabar blog? Lama juga ya kita tak bersua. Sudah hampir satu tahun vakum untuk menumpahkan segala ide disini. Rasanya banyak hal yang kemudian tertahan tanpa bisa dituangkan. Amat disayangkan. Tapi hari ini saya kembali lagi dan rasanya akan memulai dengan sebuah proyek kecil yang diberi nama #14DaysProject, sebuah proyek menulis istimewa yang akan dimulai hari ini tanggal 1 Februari sampai dengan tanggal 14 Februari.

#14DaysProject ini tentunya mencoba menyampaikan sebuah pesan yang hanya akan bisa dibaca oleh orang-orang yang memahaminya. Mencoba untuk memecahkan dan mencari tahu? Tentu saja dipersilahkan sepenuhnya :). Bersama dengan segelas teh dan ratusan lagu-lagu yang terus diputar tulisan ini dibuat. Cheers  and beers! :)