Senin, 04 Februari 2013

#DayFour : Sepenggal Puisi…



A poet is, before anything else, a person who is passionately in love with language  (W.H. Auden)


Dear Ms. Wijayakusuma,

Sore ini hujan turun. Cukup deras walau hanya untuk sesaat lalu terhenti. Tak hujan sepenuhnya usai dan rintik hujan masih membasahi bumi. Kuangkat gelas teh milikku dari meja makan menuju teras rumah. Mencoba untuk menikmati segelas teh hangat sembari menanti hujan reda.

Aku bukan menantikan hujan reda karena ingin pergi menjelajah. Rasanya juga belum ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan. Hanya ingin menanti hujan reda, tak lebih dari itu. Karena itu aku rasa menanti pelangi disaat hujan berhenti akan menjadi sangat manis, apalagi jika pelangi datang disaat matahari jatuh dalam pelukan senja. Sejenak aku teringat akan satu hal, puisi. Ya, rasanya aku menyimpan beberapa puisi yang aku tuliskan ketika hujan turun.

Apa koneksi hujan dan puisi? Entahlah, aku sendiri pun masih tidak bisa memahaminya dengan pasti. Hanya saja ada rasa dimana kata-kata bisa mengalir seperti butir-butir air yang turun ke bumi, kadang perlahan tapi bisa juga begitu deras. Lalu apa hubungan puisi dengan kamu? Tentu saja ada hubungannya. Kamu itu penyuka puisi, walaupun aku tahu kamu tak suka untuk menuliskannya. Kamu lebih suka untuk menikmati orang-orang lain untuk membacakannya. Bagimu itu begitu menyenangkan. Apalagi jika orang yang membacakan puisi itu adalah sosok favoritmu, Landung Simatupang.

Aku selalu tak pernah bosan mendengarkan ceritamu yang penuh semangat ketika berbicara tentang Landung Simatupang. Sosok yang kamu gambarkan begitu indah dan luar biasa dalam pandanganmu. Tentu saja aku tak bisa mengatakan satu hal apapun. Jikalau dibandingkan, tentu saja aku akan kalah telak. Aku jelas tak bisa menyaingi sosok yang kamu kagumi itu. Bahkan dalam tingkatan yang begitu jauh. Tapi aku tahu satu hal yang bisa menghubungkan aku dengan sosok Landung Simatupang. Kami sama-sama mencintai kata, tentu saja dengan aplikasi yang berbeda.

Sejenak teringat akan satu hal. Lalu kubuka catatan kecilku dan kutemukan beberapa tulisan. Perlahan aku mulai mencoba mengingat semua tulisan itu dan beberapa diantaranya terselip puisi-puisi yang kubuat ketika hujan turun. Kemudian kutemukan ada satu buah puisi yang belum lama ini kutuliskan untukmu. Aku membuatnya ketika hujan jatuh dan senja datang ketika hujan reda, begitu cantik. Berikut ini puisinya :

Romantika Hujan pada Sebuah Senja

Segelas teh panas,
 cukup panas sampai asap masih terlihat
Musik klasik yang terus diputar,
berulang-ulang tanpa membuatku bosan
Lalu sebuah catatan sederhana,
dan satu buah pena dengan tinta hitam
Tumpukan kata-kata yang siap dirangkai
entah berapa ratus, bahkan ribu mungkin
Apa yang lantas kita lakukan dengan ini semua?
Membiarkannya menjadi tak berarti kah?

Dalam segelas teh panas kutemukan kata-kata
Mereka muncul bersama dengan kepulan asap,
yang muncul dari dalam gelas
Kulihat pula bagian dalam gelas teh
Kutemukan kata-kata dirangkai oleh daun-daun teh
Yang menari pada dasar gelas
Lalu aku pun larut bersama harmoni segelas teh panas

Disaat yang bersamaan pula aku mendengar suara,
yang datang dan terangkai begitu saja
dari sebuah gramophone tua milik kakek
Tanpa sadar aku membiarkan diriku menari
Bersama dengan suara-suara,
yang terbentuk dari rangkaian kata-kata
dengan nada-nada yang klasik
alunan melodi senja,
dan juga sedikit romantik
Lalu aku pun larut bersama melodi musik klasik,
dari gramophone tua

Aku pun menggoreskan lembaran-lembaran kosong,
dengan tinta hitam, yang sudah hampir hilang
perlahan garis-garis itu terputus
berulang kali pula aku harus membuatnya jadi lebih tebal
Membiarkan tangan ini menari
Bukan pada sebuah kanvas, tapi lembaran kosong
Bukan melukis, tapi menarikan rangkaian kata-kata
Menyusun ribuan kata menjadi pepat
Tak membiarkannya menjadi tumpukan kata
Meniupkan jiwa
Menghidupkan makna
Lalu aku pun hanyut dalam sinergi,
dalam lembaran kertas kosong dan juga sebuah pena tinta hitam

Disanalah kutemukan kamu
Bersembunyi dalam ribuan kata
Menjelajah setiap kalimat-kalimat yang tertulis
Menyanyikan setiap bait yang disuarakan
Merangkai semuanya menjadi satu kesatuan
Harmoni,
Melodi,
Sinergi
Akankah aku dan kamu,
menemukan kita didalamnya?
Kita menyanyilah dalam nada,
Kita menarilah dalam kata,
Kita berputar dan terus berputar
Kita akhiri semuanya dengan segelas teh,
dan dalam pangkuan senja
Sampai pada akhirnya kita terlelap

Inilah penggalan puisi yang kutuliskan untukmu, ditengah hujan yang turun perlahan. Ya, jelas masih kalah jauh dengan sosok idolamu, Landung Simatupang, tapi paling tidak aku mencoba untuk merangkai kata sebisaku. Mudah-mudahan saja bisa membuatmu tersenyum dan mungkin membuat Landung Simatupang tertarik pada tulisanku barangkali? Dan aku pun tahu bahwa kamu akan tersenyum kecil membaca kalimat terakhir tadi.

Segera saja kubereskan komputer jinjing milikku, tapi rasanya ada yang kurang jika tidak mendengarkan satu buah lagu sebelum mengakhiri malam ini. Angsa dan Serigala – Bersamaku pun dimainkan melalui pemutar lagu di komputer jinjingku. Setelah lagu usai diputar baru lah aku mencoba memainkan kata-kata dalam pikiranku hingga akhirnya aku terlelap perlahan. Barangkali dalam mimpi aku bisa berbincang denganmu dan juga Landung Simatupang.

From dearest,

Mr. Rainbow

#DayFour, rangkaian ke-empat dari empat belas tulisan.

Minggu, 03 Februari 2013

#DayThree : Para Pemburu Senja





There’s never one sunrise the same or one sunset the same (Carlos Santana)



Dear Ms. Wijayakusuma,

Aku masih teringat dengan obrolan kita melalui pesan singkat dari telepon genggam kala itu. Kita membicarakan tentang senja, dan tak pernah bosan pula kita membiarkan diri kita larut di dalamnya. Senja, ya senja. Entah kenapa senja itu begitu memikat dan akhirnya membawa kita kepada sebuah perbincangan panjang tanpa akhir. Sampai pada satu titik ada sebuah percakapan menarik yang membuat senja menjadi lebih menyenangkan.

Selama penelitian kamu selalu saja bercerita bahwa kamu sangat menginginkan senja datang. Ada banyak tempat yang kamu anggap sangat menarik ketika kamu ingin menikmati senja disana. Namun sayangnya senja tak kunjung datang. Bukan karena dia tak mau, tapi karena awan terlalu serakah untuk menikmati senja. Selain awan ternyata hujan juga tak kunjung bersahabat. Mungkin hujan tahu bahwa senja disana terlalu cantik dinikmati sehingga dia ingin membuatmu kesal. Aku pun tahu, jelas itu semua itu membuatmu kesal. Sifat iseng dari awan dan juga sifat jahil dari awan akhirnya membuatmu menggembungkan pipimu. Itu adalah caramu menunjukkan betapa sebalnya kamu ketika seseorang atau apapun itu berbuat iseng ataupun jahil kepadamu.

Saat kamu bercerita itu semua, seketika ada sebuah ide yang terlintas dalam pikiranmu. Ide tentang menikmati senja. Mencari senja dimanapun dia tampak indah dengan gaun miliknya yang berwarna jingga, bahkan kadang berpadu dengan merah. Mencari dan terus mencari. Mungkin saja ini yang disebut sebagai berburu senja. Lalu tercetuslah dalam pikiranmu untuk menyebut diri kita sebagai para pemburu senja.

Pemburu senja, ya sangat menarik ketika mendengar kata itu. Sebelumnya aku selalu menganggap bahwa aku ini adalah kaum penikmat senja. Menikmati indahnya senja bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada satu titik sebelum berganti tugas dengan bulan. Dengan secangkir teh ataupun kopi dan juga obrolan ringan. Seakan waktu berjalan sangat perlahan ketika menikmati semua itu. Namun kamu menawarkan sesuatu yang lain, sebuah sebutan baru untuk menikmati dan berburu senja.

Ketika menyebut kata itu, pemburu senja, di dalam kepala ini kemudian tergambar banyak hal yang melintas dalam sekejap mata. Rekoleksi ingatanku tentang senja seakan dibongkar habis. Foto-foto yang kuambil dengan mataku ini kemudian seakan terpampang rapi dalam sebuah arsip. Arsip bertuliskan “Senja”. Lalu kubuka pelan-pelan arsip itu dan satu persatu foto dalam ingatan ini kemudian membuatku teringat momen-momen dimana senja itu terasa begitu menyenangkan. Mungkin inilah beberapa yang bisa kutunjukkan padamu, karena pada momen inilah senja itu tak hanya terekam dalam pikiranku.:


Judul : A Sea Walk into the Sunset



Judul : Sunset Lovers



Judul : Time Freeze for the Sunset


Ya, ini hanya beberapa foto yang ada di dalam arsip pikiranku dan juga ada di dalam komputer jinjing milikku.

Oh iya, aku juga teringat akan satu hal. Kamu juga memintaku untuk membawa ke sebuah tempat yang membuatmu penasaran. Beberapa kali ketika melewati tempat itu selalu saja kamu bilang, “bawa aku kesana”. Aku hanya tersenyum. Belum sempat aku mengajakmu untuk melihat tempat itu sebelum akhirnya kamu berangkat untuk menjalani masa penelitianmu. Rasanya akan jadi menarik ketika bisa menikmati senja ditempat itu, mudah-mudahan memang menarik seperti yang ada di dalam bayangmu.

Sekejap aku terdiam lalu tersenyum. Ah, sekarang rasanya aku benar-benar bisa menikmati senja dengan cara yang berbeda sebagai pemburu senja tentunya. Lalu aku mendengar sayup-sayup panggilan untuk makan bersama keluarga. Aku membiarkan satu lagu diputar sebelum akhirnya ikut kedalam panggilan itu. Payung Teduh – Menuju Senja diputar dan setelah usai aku pun segera membereskan komputer jinjing milikku. Lalu dalam pikiranku terlintas satu pikiran. Yakinlah esok itu akan menyenangkan, jangan takut bahwa esok hari akan begitu menyebalkan atau tidak bersahabat. Bukankah esok hari masih ada senja yang harus kita kejar?

From dearest, 

Mr. Rainbow

#DayThree, rangkaian ketiga dari empat belas tulisan.



#DayTwo : Sepotong Gambar dan Sebuah Pesan



"I dream of painting and then I paint my dream" (Vincent Van Gogh)



Dear Ms. Wijayakusuma,

Malam belum terlalu larut. Suara-suara itu terus saja bergaung cukup keras di dalam kepalaku. Melaui corong-corong suara itu mereka memberi tanda pada waktu. Aku hanya duduk terdiam sejenak dan berpikir. Banyak hal yang kemudian terus saja berlari di kepalaku sampai sebuah pesan singkat masuk ke dalam telepon genggam milikku. Ah, rupanya beberapa teman yang terus saja menggodaku untuk menghabiskan malam bersama mereka. Sekedar berbincang-bincang ataupun menghabiskan segelas kopi, meski pun mereka tahu bahwa aku tidak terlalu senang dengan kopi. Hanya aroma yang tercipta dari segelas kopi selalu saja membuatku tertarik. Selalu saja ada misteri dari balik bau kopi yang berbeda.

Namun masih saja aku belum tertarik untuk menghabiskan waktuku malam ini dengan menikmati segelas kopi. Aku sedang tertarik untuk menulis, dunia yang sudah lama aku geluti semenjak masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Seorang guru mengenalkanku pada dunia ini, dunia tanpa batas dimana aku bisa membiarkan jemariku menari mengikuti naluri dan membiarkannya mengalir dalam rangkaian kata-kata. Aku segera mengambil komputer jinjing milikku dan dengan segera aku menyalakannya. Entah kenapa hasrat untuk menulis begitu besar.

Aku membiarkan diriku duduk kemudian menatap layar komputer jinjing milikku tajam. Sempat kemudian terdiam sejenak untuk beberapa saat, rasanya ada hal yang ingin ditumpahkan tetapi kata-kata yang ada dalam kepala ini masih berserakan. Aku tampak kebingungan untuk membiarkan diriku tenggelam dalam kata-kata. Ah, sebuah kesalahan memang membiarkan diriku beku karena tak menjamah hangatnya kata-kata. Kemudian masih berputar-putar dengan kata yang ada dalam pikiranku tapi masih saja tak menemukan titik temu dimana aku bisa menuangkan segalanya. Lalu pesan singkat darimu masuk.

Ya, kamu yang biasanya selalu bercerita denganku tentang banyak hal dengan semangat yang meluap, membiarkan dirimu hanyut dalam arus penelitian. Karena itulah hanya dengan media pesan singkat semua ceritamu bisa tersampaikan. 2 minggu, bukan waktu yang cukup lama jika tak dihitung dengan jemari tapi tetap saja ada kerinduan untuk mendengar semua ceritamu. Hari ini kamu bercerita tentang betapa hangatnya suasana yang kamu dapatkan dalam penelitianmu. Aku tersenyum kecil. Kubalas pesan singkatmu dengan pesan singkat yang lainnya, meskipun aku tak yakin bahwa 360 karakter bisa dikatakan sebagai pesan singkat.

Aku kembali terfokus pada komputer jinjing milikku. Perlahan kata-kata mulai tersusun dan jemari ini mulai menemukan ritme-nya untuk bisa menari dengan indahnya pada setiap huruf tak beraturan yang ada di komputer jinjing milikku ini. Aku menulis sesuatu yang aku sendiri bahkan tak tahu. Hanya membiarkan semuanya mengalir begitu saja. Di saat jemariku sedang menari dengan anggun, satu pesan singkat darimu masuk. Lagi, kamu bercerita tentang betapa menyenangkannya dunia baru yang kamu temukan. Dan lagi pula aku membiarkan senyum terlukis diwajahku.

Aku pun membiarkan diriku mengacuhkan komputer jinjingku untuk sesaat dan membalas pesan singkatmu. Ah, rasanya cukup rindu tapi apakah rindu cukup menggambarkan semuanya? Rasanya tetap saja ada yang tak mampu rindu gambarkan. Lalu terpikirkan olehku untuk membuat sebuah gambar dengan tangan yang mungkin mampu menggambarkan itu semua. Kuambil penaku dan mulai menggoreskannya pada sebuah kertas berwarna putih diatas meja kayu yang cukup lebar. Aku membiarkan diriku tenggelam dan membiarkan tanganku menari dengan indahnya menggoreskan sebuah gambar sederhana yang menggambarkan kerinduan.



Judul : A Girl with a Sun on the right hand, Rainbow on the left hand
Judul : A Girl with a Sun on the right hand, Rainbow on the left hand (2)



Rasanya gambar ini mungkin saja terlalu sederhana, tapi rasanya cukup menggambarkan tentang kerinduan. Rindu akan celotehmu yang selalu saja bisa melukiskan sebuah simpul di wajahku. Tak banyak yang mampu menggambarkan itu, mereka bilang aku terlalu kaku. Tapi kamu seakan dengan mudahnya menggoreskan itu dan tak pernah ada alasan untuk tak tersenyum melihat apapun yang kamu lakukan.

Lalu aku lihat dengan seksama ternyata pesan singkat darimu telah masuk sedari tadi ketika aku membiarkan diriku masuk dalam dunia lukisan. Lagi cerita-cerita menarik tak kunjung henti kau ceritakan sampai pada akhirnya kau terlelap. Biasanya aku terlelap terlebih dahulu tapi nampaknya waktumu untuk terlelap disana jauh lebih cepat. Lalu kumainkan sebuah lagu dari daftar lagu yang biasa aku dengarkan dari komputer jinjingku, satu tembang dari Foo Fighters yang berjudul Everlong. Kudengarkan perlahan hingga aku sendiri tenggelam dalam lelapku dan membiarkan komputer jinjingku menyala.

From dearest, 


Mr. Rainbow

 #DayTwo, rangkaian kedua dari empat belas tulisan.

Jumat, 01 Februari 2013

#DayOne : Sebuah Awal…


“Start every day off with a smile and get it over with” (W.C. Fields)


Dear Ms. Wijayakusuma,

Rasanya akan sangat tidak adil ketika kita berbicara tentang sebuah cerita tanpa awalan. Orang bilang bagian awal itu kunci agar orang tertarik lebih dalam untuk masuk ke dalam sebuah tulisan. Aku rasa hal itu mungkin saja tepat. Tapi tidak ada yang lebih menarik memang dari sebuah awal cerita, yang tentu saja meninggalkan sebuah kesan.

Awalnya kita tak saling mengenal, bahkan mungkin belum saling bertatap muka. Hanya sekedar mengerti tapi belum memahami. Masih abu-abu, samar dan tak bisa dijelaskan dengan rangkaian kata. Apa yang membuatnya menjadi menarik? Sampai pada hal ini aku sendiri pun bahkan belum bisa menjelaskan. Aku dan kamu, rasanya berpapasan saja mungkin bisa dikatakan tak pernah. Aku terlalu lama tenggelam dalam duniaku sendiri, dunia di luar hiruk pikuk kampus. Sedangkan kamu, jelas saja masih masuk ke dalam sebuah dunia yang belum kau jamah sebelumnya dan itu pasti membuatmu penasaran.

Seharusnya, pada saat inisiasi berlangsung kita berpapasan. Entah mengapa kita sama-sama lupa ada dimana kita dan seperti apa kita pada waktu itu. Terlalu gelap. Mungkin malam sengaja membiarkan kita untuk tak saling mengenal terlebih dahulu. Bahkan ketika inisiasi usai seharusnya aku menjabat tanganmu, tapi entah kenapa aku sendiri pun tak bisa mengingatnya. Yah, aku memang bukan pengingat yang baik. Belum sempat bertegur sapa dan bercengkrama dengan semua orang, lagi-lagi aku harus segera turun. Bukan karena tak mau mengenal, tapi karena aku tak membawa kendaraanku sendiri. Mau tak mau tentu harus ikut dengan jadwal teman baikku karena memang dari awal kita memutuskan untuk pergi menghadiri inisiasi bersama. Lalu momen itu terlewati begitu saja. Waktu masih belum mengijinkan kita untuk saling mengenal rupanya.

Mungkin saja kita baru sadar bahwa kita benar-benar terhubung melalui sosial media. Awalnya tak menyangka bahwa ada akunmu dalam daftar orang-orang yang mengikuti aku, melalui sosial media yang menggunakan logo burung kecil. Dari momen itulah sempat terjadi beberapa kali percakapan walau hanya sosial media karena kita mengenal beberapa orang yang sama. Sampai pada satu momen yang kemudian membuat segalanya menjadi berbeda.

Dengan bersemangat aku meminta nomor telepon genggam milikmu. Bukan, bukan karena aku ingin mengenalmu. Justru karena sedang mencari informasi mengenai teman-temanmu lah aku bertanya kepadamu. Orang bilang mungkin ini hanya sekedar iseng, tapi sebetulnya tidak. Aku benar-benar sedang diberi tugas untuk mencari informasi tentang teman satu angkatanmu. Dari situlah kemudian percakapan baru benar-benar dimulai, permainan kata kemudian mengalir, dan semua seakan terasa begitu…lepas. Rasanya semua kata aku biarkan saja mengalir keluar dari dalam pikiranku tanpa harus meledakkannya.

Aku membiarkan semua proses yang terjadi mengalir begitu saja tanpa harus memaksakan apapun. Rasanya lebih nyaman ketika menjalani semuanya dengan sederhana. Apalagi aku biasa untuk bekerja di “bawah tanah”, jauh dari keramaian lini masa. Tapi apa cukup hanya sekedar kata saja?

Lalu pada satu hari, kita bertemu. Tak direncakan, terjadi begitu saja. Aku dan kamu bertemu di satu tempat penjaja es krim dan makanan ringan. Waktu itu kamu berkata kamu sendiri, menunggu seorang teman. Seketika itu pula ide untuk datang muncul dikepala tanpa diberi komando. Aku pun segera saja bergegas menghidupkan sepeda motor tuaku dan melaju perlahan sampai pada akhirnya tiba di tempat penjaja es krim itu. Mataku mencoba untuk mencari sosokmu, walaupun aku tahu mata ini belum cukup familiar denganmu. Tapi entah kenapa dengan begitu cepat pula mataku tertuju pada sosokmu. Kamu pun terkejut. Awalnya memang terasa canggung tapi perlahan kita membiarkan diri ini membangun sebuah menara kata-kata, bertukar cerita bahkan senyuman. Sebuah sore yang cukup melegakan dan penutup yang manis bagi aktifitas hari itu, karena aku rasa cukup penat seharian berurusan dengan birokrasi akademik yang menyebalkan. Hanya ada senyuman lebar yang terus terlukis di wajah ini.

Esoknya, tiba-tiba kamu menghilang. Entah apa yang terjadi aku sendiri pun tak tahu. Ya, hanya menghilang. Rasa penasaran pun sempat hinggap di kepala ini sambil terus berpikir apa yang terjadi. Sampai ketika senja tiba kamu muncul, membagikan cerita. Ada kesedihan di dalamnya dan aku rasa tidak mudah bagimu untuk ungkapkan semua itu. Aku merasa bahwa setidaknya ingin membuat senyuman yang meneduhkan kemarin bisa terlukis di wajahmu. Rasanya bersedih sama sekali tak cocok terlukis di wajahmu.

Lalu aku mencoba untuk datang dan menawarkan sebuah senyuman. Ah, bukan senyuman tapi pelangi…ya, pelangi. Aku selalu teringat dengan satu perkataan bijak bahwa pelangi membawa kebahagiaan dan keteduhan setelah hujan turun, bahkan setelah badai datang sekalipun. Maka aku pun mencoba untuk datang dan membawakan pelangi untukmu, membawa keteduhan dan senyuman itu kembali terlukis di wajahmu.

Jelas bukan hal yang mudah, membawa pelangi dengan ratusan bahkan jutaan warna di dalamnya. Ada banyak elemen didalamnya yang membuatnya begitu menarik, menenduhkan, dan membawa kebahagiaan. Walau berat aku mencoba untuk membawanya kepadamu, agar senyuman itu kembali. Dan pada akhirnya senyuman itu kembali terlukis, dan ada kebahagiaan dan keteduhan yang tersirat di dalamnya. Rasanya tugasku sebagai lelaki pembawa pelangi cukup bekerja dengan baik. Walaupun aku menyadari sepenuhnya bahwa mungkin aku belum cukup baik untuk membawa pelangi, paling tidak aku sudah berusaha semampuku untuk itu. Saat itulah kamu menyebutku sebagai “lelaki pembawa pelangi”.

Ah, rasanya cukup banyak hal yang aku dapat ceritakan. Namun rasanya tidak cukup adil bukan ketika membicarakan sebuah awalan dengan panjang lebar? Ya, perlahan tapi pasti aku akan bercerita hingga kau terlelap. Jadi segera saja kututup komputer jinjingku dan mulai memainkan pemutar musik milikku. Satu tembang yang muncul adalah Bruno Mars – Just the Way You Are dan bersama dengan tembang ini pula aku mulai memejamkan mataku, berharap kau membacanya hingga usai, dengan senyuman yang selalu terlukis diwajahmu. Sebenarnya ini tidak akan usai, karena dengan begitu semua jadi jauh lebih menarik bukan?

From dearest,


Mr. Rainbow


Rangkaian pertama dari empat belas tulisan, #14DaysProject

Perkenalan Singkat #14DaysProject

"I'm back to doing everything I used to, loving life as ever" (Donna Mills)

Dear Pembaca,

Apa kabar blog? Lama juga ya kita tak bersua. Sudah hampir satu tahun vakum untuk menumpahkan segala ide disini. Rasanya banyak hal yang kemudian tertahan tanpa bisa dituangkan. Amat disayangkan. Tapi hari ini saya kembali lagi dan rasanya akan memulai dengan sebuah proyek kecil yang diberi nama #14DaysProject, sebuah proyek menulis istimewa yang akan dimulai hari ini tanggal 1 Februari sampai dengan tanggal 14 Februari.

#14DaysProject ini tentunya mencoba menyampaikan sebuah pesan yang hanya akan bisa dibaca oleh orang-orang yang memahaminya. Mencoba untuk memecahkan dan mencari tahu? Tentu saja dipersilahkan sepenuhnya :). Bersama dengan segelas teh dan ratusan lagu-lagu yang terus diputar tulisan ini dibuat. Cheers  and beers! :)

Jumat, 11 November 2011

Ular Besi dan Sejuta Memori (Bagian Akhir)


“You must pass your days in song. Let your whole life be a song.” (Sai Baba)


Inilah lanjutan dari cerita sebelumnya..

***

Ular besi masih melaju, membawa sejuta mimpi menembus malam yang beku. Aku masih terjaga saat lagu selesai berputar. Sedikit merasa heran karena lagu-lagu ini seakan membawaku ke masa lalu. Tapi semua ini tak lagi kuanggap sebagai siksaan, aku menganggap ini sebagai refleksi diri.

Aku berdiri dari tempat dudukku dan berjalan menuju selasar perpindahan gerbong. Kulihat di sebelah kanan, ada seorang bapak yang terlelap dalam mimpinya. Kuputuskan untuk berdiri di dekat toilet. Pintu terbuka lebar dan aku masih mendengarkan lagu. Kulihat lagu selanjutnya yang diputar oleh telepon genggamku adalah Andre Hehanusa – Karena Kutahu Engkau Begitu (KKEB). Seketika itu pula aku hanyut lagi dalam memoriku.

***

Aku tidak lah pandai dalam memainkan alat musik, tapi terkadang kamu memaksaku untuk memainkan sebuah lagu. Jelas aku bingung dan harus sedikit memutar otak. Aku tidak sepertimu yang jauh lebih mudah membaca nada-nada dalam bahasa yang tak kumengerti itu. Kamu bahkan tahu caranya memainkan beberapa alat musik, walaupun kamu bilang padaku tidak terlalu mahir memainkannya.

Saat kamu terus memintaku untuk melantunkan sebuah lagu disaat itulah aku punya ide. Aku mencoba untuk mencari instrumen dari lagu Andre Hehanusa yang berjudul Karena Kutahu Engkau Begitu. Setelah kutemukan, aku memainkan instrumen lagu itu dan menyanyikan lagu itu untukmu. Awalnya kamu terdiam, takjub tapi aku tahu pasti kamu tak mau mengakuinya.

Saat aku telah selesai menyanyikan lagu itu kamu berkomentar bahwa suaraku fals tapi usahaku patut diacungi jempol. Aku tertawa dan berkata padamu bahwa “aku memang bukan penyanyi yang baik tapi setidaknya aku menyanyikannya sepenuh hati”. Di saat itu pula ledak tawa keluar dari mulut kita masing-masing.

***

Kulihat keluar masih gelap juga, pemandangan tak terlihat karena ular besi bergerak cepat. Ular besi yang satu ini memang aneh, kadang ia bergerak dengan sangat cepat tapi bisa juga sangat lambat. Lagu pun telah usai diputar. Aku malah semakin penasaran dengan lagu yang akan dimainkan oleh telepon genggamku selanjutnya. Seakan-akan semua ini berbalik menjadi candu, ya candu memori masa lalu. Entah kenapa ketika lagu berikutnya diputar justru aku merasa lagu ini menamparku sangat keras. Bahkan membuatku meneteskan air mata untuk sesaat. Lagu itu adalah Ecoutez – Simpan Saja.

***

Aku dan kamu sempat mengalami rehat panjang dalam hubungan ini. Salah satu alasannya adalah hubungan jarak jauh atau long distance relationship (LDR). Seorang kawan pernah berkata bahwa LDR itu awalnya memang indah jadi bisa disebut long distance relationsweet tapi akhirnya bisa jadi long distance relationshit. Memang ada benarnya pernyataan yang satu ini. Kita berdua mengalami sebuah masa dimana ada sebuah kepenatan dalam hubungan jarak jauh ini.

Telepon genggam dan pertemuan di saat ada kesempatan, ternyata tak cukup memberikan ruang pada dua rasa anak manusia ini. Rasanya ada perasaan yang memudar di hubungan ini dan tidak lagi sehangat dulu. Kamu lalu menganggap bahwa semua ini membuatmu lelah dan rasanya kamu ingin berhenti. Lalu kamu memberikan lagu Ecoutez yang berjudul Simpan Saja kepadaku untuk aku dengarkan. Di saat itulah aku merasa bahwa apa yang kulakukan memang tak cukup untukmu. Kau menginginkan lebih dari sekedar telepon genggam dan pertemuan yang berlangsung sesekali itu. Kamu ingin semua seperti dulu. Tapi bagaimana caranya semua ini berjalan ketika aku dan kamu ada di lokasi yang berbeda dan cukup jauh jika ditempuh dengan sepeda motor tuaku? Semua ini cukup membuatku bingung, lelah, dan bahkan bisa membuatku gila! Lantas apa yang bisa aku perbuat?

Aku hanya bisa hanyut dalam lagu itu sambil meneteskan air mata untuk sesaat. Ada rasa sesal yang muncul dan aku tak bisa menyelesaikan masalah ini pada waktu itu. Rasanya begitu menyebalkan.

***

Ular besi masih terus melaju. Sejenak aku lihat pemandangan di luar, masih tampak samar karena gelap masih pekat. Ular besi tiba-tiba berjalan perlahan, aku menduga akan berhenti sejenak untuk mengisi perutnya yang telah lapar. Aku sendiri? Tak terasa sudah rasa lapar karena lagu-lagu yang kuputar. Sejenak ada jeda sampai lagu berikutnya dimainkan oleh telepon genggamku. Ternyata lagu yang diputar berikutnya adalah Anda – Cukup Dalam Hati. Rasanya aku melewatkan untuk mendengarkan lagu ini, tapi aku hanyut dalam memoriku sendiri..

***

Aku dan kamu, satu-satunya penghubung jarak di antara kita adalah komunikasi melalui telepon genggam atau dunia maya. Rasanya menyebalkan memang dan tidak jarang selalu ada momen komunikasi yang kurang baik di antara kami. Pernah pada suatu momen kami bertengkar dengan alasan sederhana, pulang.

Kamu berucap padaku ingin pulang tapi aku tahu bahwa kamu tidak libur pada waktu itu. Kamu tidak mengatakan padaku alasanmu untuk pulang dan itu membuatku heran. Saat itu terucap dari mulutku bahwa kamu adalah anak rajin yang jarang sekali melanggar peraturan. Di saat itulah kamu berkata padaku bahwa aku keras kepala dan menyebalkan. Dari hal kecil itulah pertikaian dengan kata-kata terjadi dan menjadi rumit. Aku sendiri tak tahu kenapa, tapi aku merasa ada yang aneh denganmu waktu itu. Aku merasa kamu kembali jadi anak manja dengan sifatmu yang menyebalkan dulu. Aku juga mempertanyakan diriku apakah aku benar-benar memilih orang yang tepat? Pikiran dan hatiku goyah waktu itu.

Aku ragu, ya meragukan semua yang telah kujalani padahal aku tahu setiap resikonya. Entah kenapa..dan lagu Anda – Cukup Dalam Hati berputar berulang-ulang malam itu, sambil terus mempertanyakan semua ini. Mempertanyakan diriku sendiri apakah aku berada di jalan yang benar? Ataukah aku membuat pilihan yang salah? Terlalu banyak pertanyaan dalam diri yang tak terjawab malam itu..

***

Ular besi berhenti sejenak, seorang pedagang masuk ke dalam perutnya yang tidak cukup lebar ini sembari menawarkan dagangannya padaku. Aku menolak, tapi pedagang itu setengah memaksa lantas tak kuhiraukan. Kulihat di sebelahku kedua orang temanku masih hanyut dalam mimpi mereka. Ah, rasanya suasana ini terlalu tenang untukku, aku pun hanyut dalam memori. Saat aku ingin menghentikan diriku untuk mendengarkan lagu, ternyata masih tak sanggup aku menghentikannya. Rasa penasaran mengalahkan diriku untuk menghentikan lagu yang kuputar. Ternyata lagu Avril Lavigne – When You’re Gone yang diputar selanjutnya. Aku tertampar lagi, cukup keras..

***

Setelah perdebatan yang cukup panas itu, kamu dan aku sempat tidak berbicara untuk beberapa saat. Aku masih merasa perdebatan itu tak seharusnya terjadi tapi keadaan mengatakan hal yang berbeda. Hal ini jelas menyebalkan dan itu cukup berpengaruh pada aktivitas yang kujalani. Sedikit kehilangan konsentrasi dalam menjalankan segala aktivitasnya. Tak kutemukan sebuah pesan singkat masuk ketika pagi hari tiba, kata-kata penyemangat yang selalu kau ucapkan untuk memulai hariku. Walaupun ada sisi menyebalkan, tetapi entah kenapa dalam pandanganku kamu itu selalu indah. Ternyata secara tidak aku sadari aku takut kehilanganmu, terlalu takut bahkan.

Aku pun memulai mengirimkan pesan singkat padamu, saat itu kau membalasnya dengan singkat juga. Ah, kamu masih marah padaku rupanya. Aku mencoba meminta maaf tapi aku rasa itu masih belum cukup untuk orang yang cukup keras kepala seperti dirimu. Akhirnya aku mengirimkan pesan singkat padamu “Coba deh dengerin lagunya Avril yang When You’re Gone..semoga aja itu memberi kamu pencerahan :)”. Kamu pun mendengarkan lagu itu dan menyandari pesanku yang aku sampaikan dari lagu itu. Walau kamu tak bercerita padaku tapi aku tahu karena adikmu, yang biasa menjadi tempat curahan hatimu ketika kita berdebat, memberi tahuku. Akhirnya kita berbaikan malam itu.

***

Ular besi melanjutkan perjalanannya menuju negeri di atas kabut. Aku masih saja tak tenang dan jelas semua memori ini tidak membiarkanku untuk memejamkan mata. Apalagi pagi sudah memintaku untuk tak memejamkan mata sampai ia tiba. Sedikitnya aku tersiksa, tapi aku mencoba menikmatinya. Aku pun berdiri lalu berjalan menuju koridor. Kulihat di dekat pintu seorang bapak terlelap dengan posisi kaki terangkat, menghalangi pintu masuk. Aku berdiri sambil terus mendengarkan lagu yang membawa sejuta memori dalam telepon genggamku. Rupanya lagu Naif – Air dan Api, diputar oleh telepon genggamku.

***

Semenjak kamu pindah ke ibukota, entah kenapa sifat-sifatmu mulai berubah. Awalnya aku merasa itu bukan suatu masalah tapi entah kenapa semua itu terasa menyebalkan bagiku. Rasanya ibukota telah merubahmu menjadi seseorang yang tak lagi ku kenal. Kamu bukanlah kamu yang dulu.

Mulailah segala sesuatu yang kita bicarakan seringkali berakhir dengan perdebatan entah kecil ataupun besar. Rasa-rasanya kita seperti air dan api, sama seperti lagu dari Naif. Aku sempat mengatakan padamu dan memberikan lagu itu untuk di dengarkan, kamu pun tertawa kecil. Lantas kita mulai membicarakan lagi hal-hal menyenangkan yang telah kita lalui bersama. Kisah tentang aku dan kamu.

Akhirnya kita mencoba untuk mengurangi perdebatan yang terjadi. Rasa-rasanya semua masalah terselesaikan, padahal itu memicu masalah lain yang sebenarnya ada di balik setiap pertikaian, walaupun aku sendiri tak yakin itulah pemicunya..

***

Kulihat telepon genggamku, baterai masih cukup untuk menemani perjalanku ini dengan ribuan memori yang telah terlewati. Aku berdiri, menerawang jauh entah kemana. Lalu kulihat di sekitarku, tenang dan sepi. Manusia-manusia itu masih berada dalam perjalanan mereka di dunia mimpi. Lalu sebuah lagu diputar oleh telepon genggamku, Sheila On 7 – Dan. Aku benar-benar semakin tenggelam dalam memoriku.

***

Aku merasa tenang bahwa hubungan yang kujalani denganmu tampak baik-baik saja. Beberapa minggu terakhir komunikasi yang terjalin jadi jauh lebih baik daripada sebelumnya. Bahkan hampir tidak ada perdebatan yang terjadi. Setidaknya aku mulai percaya bahwa ibukota tak merubahmu, dan kuharap jangan sampai merubahmu. Lantas pada suatu saat adikmu mengirimkan singkat padaku untuk bertemu, sejenak aku berpikir bahwa anak ini akan bercerita tentang kisahnya. Lantas aku segera bersiap dan meluncur menuju lokasi tempat kami bertemu.

Sesampainya di sana kami pun bercerita panjang lebar, awalnya memang dia bertanya tentang kabar dan bercerita tentang kisahnya sampai pada akhirnya aku memutuskan akan berpamitan. Saat aku ingin pulang, dia menahanku sejenak. Masih ada hal yang belum dia sampaikan rupanya. Lantas aku kembali duduk di kursiku dan dia pun bercerita tentang sebuah kisah yang nyaris tak kupercayai. Dia bercerita bahwa kamu, kakaknya, dekat dengan seseorang yang tak kukenal di ibukota. Lantas dia bercerita tentang banyak hal yang telah kau ceritakan padanya. Tapi entah kenapa aku masih memaksakan diriku untuk yakin bahwa semua baik-baik saja. Baik? Untuk siapa? Aku? Kamu? Orang itu? Kita? Kalian?

Aku berkata pada adikmu bahwa semua akan baik-baik saja, atau setidaknya demikian. Beberapa hari setelah itu saat kita saling berkomunikasi pun semua tampak baik-baik saja. Akhirnya aku pun menanyakan tentang pria dari ibukota yang katanya sangat dekat denganmu itu. Awalnya kamu ragu dan mencoba untuk menutupi itu. Aku akhirnya tak memaksamu untuk bercerita dan percakapan hari itu berhenti pada topik itu.

Beberapa hari kemudian tiba-tiba kamu mengirimkan sebuah pesan singkat padaku, dengan isi yang cukup mengejutkan. “Coba kamu denger lagu Sheila On 7 – Dan”, begitulah pesan singkat yang kau tuliskan. Aku mencoba untuk memahami apa maksud dari semua ini, lalu kubalas pesan singkatmu itu. “Apa maksudnya?” tanyaku dalam pesan singkatku. Lalu pesan singkat balasan darimu kuterima, “Eh, gak papa kok..aku baru ngelantur aja..hehehe”. Dari situlah kemudian timbul rasa curigaku terhadap pria itu, walau kamu tak mau bercerita padaku. Aku tahu betul isi dari lagu yang kau kirimkan padaku, tapi aku tak yakin bahwa semua akan seperti itu. Benarkah bahwa kau seperti yang aku duga? Apakah memang benar bahwa semua ini berubah tanpa aku sadari?

***

Setelah lagu itu berakhir, lantas aku mencari lagu itu. Lagu yang terakhir kali kau berikan padaku sebelum kita memutuskan untuk mengakhiri semua. Untuk lagu selanjutnya tak kubiarkan telepon genggamku yang memegang kendali. Aku mencari lagu itu diantara ratusan lagu yang kuselipkan dalam telepon genggamku, akhirnya kutemukan juga. Lagu itu pun kuputar seiring dengan melajunya ular besi yang berpacu dengan waktu. Lagu itu adalah Jagostu – Mau Tak Mau.

***

Ternyata isu-isu tentang dirimu itu begitu kencang terdengar. Tak hanya aku dan adikmu saja yang tahu, tapi juga kerabat dekatmu. Banyak pula yang bertanya padaku ada apa dengan semua ini dan aku hanya bisa menjawab “Aku tak tahu”. Awalnya memang aku tak menghiraukan isu itu karena aku berpikir semua akan berlalu, tapi ternyata semua menjadi semakin rumit.

Aku pun mulai bertanya padamu tentang semua itu, kau pun selalu menghindar. Entah kenapa tapi kau selalu menghindar dan terus menghindar. Sampai pada suatu saat kamu pun berkata bahwa memang dekat dengan pria itu sebagai teman saja. Aku pun sedikit lega mendengarkan semua itu dan mencoba meluruskan isu-isu yang terjadi. Akhirnya untuk sesaat semua itu bisa diredam. Komunikasi aku dan kamu pun terus berjalan seperti biasa, bahkan kami pun masih menghabiskan waktu bersama saat natal, tahun baru 2011, dan imlek. Semua berjalan dengan semestinya dan indah pada waktu itu. Sampai akhirnya tiba pada bulan kelima di tahun 2011.

Saat itu kamu menelponku, menanyakan kabarku dan segala sesuatunya seperti yang biasa kamu lakukan. Semua berjalan seperti biasa. Tiba-tiba kau berhenti sejenak saat sedang bercerita, tak biasanya kamu melakukan semua ini. Suasana hening pun tercipta di antara kami, aku diam begitu pula denganmu. Ketika aku tanyakan ada apa, kau selalu menjawab tak ada apa-apa. Akhirnya kau pun melanjutkan ceritamu walaupun aku tahu di setiap nada yang kau ucapkan ada sesuatu yang coba kau tahan dan tak kau ungkapkan.

Setelah usai bercerita aku pun bertanya padamu, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu pun diam, seakan beku dan tak menjawab pertanyaanku yang aku tanyakan melalui telepon genggamku. Hatiku tak tenang, sungguh rasanya tak pernah seperti ini saat berbicara denganmu. Aku bingung karena kamu tak juga menjawab pertanyaanku. Sejenak aku teringat, lalu aku tanyakan padamu apakah semua ini berkaitan dengan pria yang dekat dengannya. Kamu pun menjawab lirih, “Ya” dari seberang sana.

Sejenak seperti ada cermin dalam diriku yang retak, namun aku masih meyakinkan diriku semua baik-baik saja. Lalu aku tanyakan ada apa antara kamu dan pria itu? Kamu tak menjawab, selanjutnya ada suara isak tangis dari seberang sana dan akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirnya yang manis, “kita berakhir, semua cukup sampai disini ya..”. Aku terdiam, kali ini aku beku.

Cermin dalam diriku itu retak menjadi serpihan dan tersapu oleh ombak kesedihan. Aku bertanya padamu lagi apakah semua ini karena pria itu dan kau menjawab ditengah isak tangismu. Aku terdiam sejenak lalu berkata padamu bahwa jika memang dia yang terbaik maka aku akan membiarkanmu bersamanya karena aku tak cukup baik untukmu. Aku pun berpesan padamu supaya tidak menyesali setiap keputusan yang telah kau buat dan memintamu untuk menjalaninya.

Percakapan itu pun aku tutup dengan ucapan terima kasih untuk semua hal yang telah di lalui bersama dan aku memintamu untuk mendengarkan sebuah lagu dari Jagostu – Mau Tak Mau. Aku tutup pembicaraan melalui telepon genggam itu meskipun aku masih mendengar suaramu yang ingin melanjutkan pembicaraan itu.

Rasanya sudah cukup bagiku. Sejenak aku terdiam, aku memandang ke arah langit dan tak terasa air mataku sudah mengalir deras. Aku kecewa, terluka, namun aku harus terus berjalan..aku masih punya mimpi yang harus aku raih dan aku kuatkan diriku dengan itu. Akhirnya aku menutup malam itu dengan membeli satu kaleng bir dingin dan berteriak di sebuah tanah lapang. Semua aku selesaikan malam itu juga.

***

Tak terasa pagi sudah menampakkan dirinya dari kejauhan. Malam sudah habis rupanya. Aku pun segera membereskan earphone yang aku kenakan untuk mendengarkan lagu. Ku usap air mataku karena ular besi berjalan melambat tanda akan berhenti. Aku kembali pada dunia yang kujalani dan membiarkan memori yang disampaikan oleh setiap lagu berlalu. Aku sudah berjanji pada diriku untuk tetap melaju dan mencapai impianku. Sama seperti perjalanan panjang ini, mungkin ini juga salah satu cara untuk meraih mimpiku.

Bicara soal mimpi, dulu memang kami punya mimpi yang sama tapi sekarang entah dia masih mengingatnya atau tidak aku sendiri pun tak tahu. Satu hal yang pasti, hidup harus berjalan terus dan sama seperti yang dituliskan oleh Eross Chandra dalam liriknya “mau tak mau kuharus, menjaluntkan yang tersisa..meski semua telah berbeda dan tak pernah ada yang sama”.

Ular besi pun berhenti di tanah Pasundan. Lalu lalang di dalam perut ular besi yang sempit ini pun menjadi sangat padat. Namun di tengah padatnya lalu lalang aku berusaha untuk beristirahat. Dua orang temanku sudah terbangun dan saatnya aku menjelajah ke dunia mimpi untuk sejenak. Lalu aku memejamkan mataku, membiarkan diriku merelakan masa lalu yang telah kulewati, dan membayangkan masa depan yang telah kunanti serta hal-hal yang akan aku raih. Aku pun terlelap dalam semua euforia perasaanku itu. Selamat beristirahat masa lalu ku dan selamat pagi masa depan.

*** Fin ***

Masa lalu itu memang penuh dengan segala dinamika dan setidaknya membawa banyak sekali cerita bagi kita. Tapi ketika kita terus tertahan di masa lalu, kapankah kita akan melihat ke depan? Dari masa lalu inilah saya belajar tentang banyak hal, tentang hidup, rasa, saling berbagi, menjalin relasi, dan semua hal yang tak bisa disebutkan satu persatu. Sedikitnya memang ada penyesalan tapi itulah cara menikmati hidup karena hidup tak selamanya manis, kadang dia terasa pahit, asam, bahkan asin. Tapi bukankah karena itulah hidup menjadi menarik? :)

Bersama dengan segelas coklat panas, sekaleng bir dingin, memori, ratusan lagu, catatan-catatan kecil, jurnal perjalanan, dan air mata, tulisan ini dibuat. Semoga kalian semua bisa membangun sebuah relasi dengan baik, meskipun nantinya banyak sekali dinamika yang akan terjadi, tapi setidaknya itulah pelajaran hidup yang bisa di dapatkan. Semoga hari anda semua menyenangkan..Cheers, beers, and move on! :)