Rabu, 01 Desember 2010

Sebuah Cerita (1) : Relawan dan Senyuman

"Aku masih mengingat semua yang pernah terjadi dan senyuman itu.." (SAWOT)




Merapi geger waktu itu, Jogja kalang kabut dan dipenuhi oleh abu mirip sekali dengan kota-kota yang ada di game horror masa kini. Saya pun ikut lalu lalang membantu saudara-saudara yang terkena musibah Merapi hingga akhirnya saya berlabuh di Purna Budaya UGM.

Saya bekerja di dapur umum, jangan kaget dan heran. Mungkin keahlian dalam bidang memasak bukan panggilan jiwa karena memang saya kurang ahli di bagian masak memasak. Bahkan mungkin bukan koki yang baik karena tidak begitu sensitif membedakan asin dan manis. Asin dan manis sudah menjadi teman yang terlalu baik bagi diri saya. Bekerja tanpa lelah ditemani senyuman para pengungsi yang ikut membantu menjadi pemicu semangat kawan-kawan relawan (walaupun saya sering mangkir juga sebenarnya karena kuliah, hehehe).

Rasa lelah menyelimuti kawan-kawan relawan setelah mendistribusikan konsumsi ke semua pengungsi dan kami pun beristirahat. Disinilah sebuah event menarik terjadi. Saat kami istirahat makan siang, saya melihat sesuatu yang aneh dan mencurigakan. Seorang relawan perempuan, parasnya anggun (menurut saya), dan dia seakan-akan ruar biasa! Kagum dan takjub dengan si mbak relawan satu ini.

Event yang menarik itu terjadi ketika saya sedang menyatap makanan, secara tidak sengaja melihat ke kanan dan kiri ruang dapur umum. Pandangan itu seakan terhenti di mbak relawan ini entah kenapa. Dia (mungkin secara tidak sengaja) menatap saya juga. Perasaan saya gogrok, tak kuasa menahan rasa dag-dig-dug ser. Mbak relawan itu memandang dengan kedua matanya yang jujur dan tersenyum kepada saya. Saya salah tingkah. Tanpa sepatah kata terucap kami hanya saling curi pandang (atau hanya saya? entahlah) sampai istirahat selesai dan saya ijin untuk pulang karena shift saya selesai.

Mungkin seharusnya ketika event ini terjadi, Maliq & D'Essentials muncul di antara kami berdua dan menyanyikan lagu Terdiam supaya tidak muncul kebekuan di antara kami berdua. Seperti kata Maliq & D'Essentials :

" Apakah kau rasakan, getaranku pada dirimu? Ku hanya duduk terdiam, menunggu untuk tahu namamu"

Kedengarannya sungguh menggenaskan, sangat dekat tapi hanya saling duduk dan memandang. Hanya senyuman lah bahasa percakapan kami berdua. Aneh tapi lucu memang kedengarannya dan ini cukup membuat saya tersenyum simpul.

Hari-hari berikutnya mbak relawan itu belum terlihat lagi, mungkin shift-nya relawannya berbeda. Penonton pun kecewa dan saya lebih kecewa lagi. Saya pun bekerja dengan hati gontai, gudah gulana, makan tak tentram, dan tidur pun tak nyeyak (halah!) tapi saya jadi teringat tujuan awal saya ada di barak pengungsian bukan untuk bertemu dengan si mbak relawan (walaupun cukup kuat juga pengaruhnya, hehehe) tapi untuk saudara-saudara yang terkena bencana. Senyuman para saudara-saudara pengungsi inilah yang menguatkan saya untuk tetap semangat untuk bekerja di dapur umum. Apakah cerita ini akan berlanjut? Tampaknya akan ada bagian berikutnya. Sekarang bersambung dulu ya kawan..cheers!

Di antara ratusan tumpukan buku, laptop, dan bangku tulisan ini dibuat. Semoga hari anda menyenangkan!

1 komentar:

muti punya cerita mengatakan...

waaah... aku jadi senyum2 bacanya wot... :)
sambungan ceritanya manaaaa???