Selasa, 21 Desember 2010

Sebuah Gunung Es Diantara Dua Ego

“Aku dan dia, seakan-akan ada gunung es diantar kita berdua yang membuat semua itu terasa beku dan kaku” (SAWOT)


Saya kembali lagi dengan kisah yang saya sendiri gak tahu apakah itu sesuatu yang memprihatinkan atau tidak. Apa yang kalian bayangkan ketika mendengar kata “Gunung Es”? Mungkin sebagian orang akan menjawab “Besar, keras, dan kaku”. Ya, semua itu tidak salah, tetapi apa jadinya ketika kita dihadapakan situasi seperti itu dalam sebuah relasi dengan seseorang?

Saya belum lama ini melewati masa ini, sebuah masa Gunung Es. Hei, kenapa masa gunung Es? Karena saya dan orang ini, ya sebut saja dia mbak BPAP, sedikit mengalami miss communication. Ada sebuah kesalahan makna dari kata-kata yang kami ucapkan walaupun mungkin sebagian besar kesalahan ada pada diri saya.

Sebenarnya saya pernah naksir dengan mbak BPAP ini, jujur saja. Saya menaruh perhatian terhadap apa yang dia telah ceritakan pada saya dan caranya dalam menyampaikan banyak hal, tetapi sayangnya waktu itu dia sudah memiliki kekasih hati. Oke, saya memutuskan untuk menjadi teman.

Waktu pun bergulir dengan sangat cepat, hubungan saya dengan Ms. Moon merenggang dan dia pun hadir untuk mengisi kekosongan yang ada, rasa tertarik itupun sempat muncul kembali, tapi saya biarkan semua mengalir. Mengalir seperti air yang pada akhir tujuannya adalah satu, laut.

Banyak dinamika yang kemudian kami hadirkan ketika dia datang kembali, mulai dari sekedar berbincang-bincang, nonton basket, berjalan-jalan ke tempat kerja saya, nongkrong di angkringan, dan juga nonton bioskop layaknya anak muda jaman sekarang. Tetapi ada satu hal yang saya sadari, “Hei, dia masih ada yang punya!”, dan inilah yang membuat saya di satu sisi merasa ada sebuah kesalahan besar.

Kesalahan besar ini akhirnya menjadi bahan permenungan saya untuk membuat sebuah keputusan yang cukup berpengaruh pada hubungan kami berdua, saya memutuskan untuk menganggap hubungan ini sebagai hubungan “kakak-adik” saja. Saya tahu dia amat sangat kecewa dengan keputusan ini.

Hubungan kami berdua pun renggang karena masalah ini sampai pada akhirnya membaik ketika mendekati momen merapi meletus dan dia kembali ke Jakarta. Kami dekat kembali walaupun hanya melalui telepon genggam. Ada satu kesalahan yang saya buat pada masa ini, saya membuat dia mendapatkan harapan yang tinggi.

Pada akhirnya saya kembali memutuskan untuk menjadi “kakak” yang baik tetapi mungkin dia salah menangkap bahasa yang saya sampaikan kepadanya. Kata-kata pun terucap dan dia benar-benar meluapkan kekesalannya pada saya melalui telepon genggam untuk kedua kalinya. Dia benar-benar merasa saya adalah laki-laki yang sudah mengecewakan dia dan mempermainkan perasaannya. Saya, hanya bisa terdiam dan tersenyum sambil berkata pada diri saya sendiri “Kowe ki piye to set?” (Kamu tu gimana to Set?) dan lagi-lagi saya membuat dia menangis.

Kami pun lost contact sama sekali, saya hanya bisa mencuri-curi informasi bagaimana keadaannya melalui kawan-kawan dekatnya. Mereka bercerita banyak hal dan di satu sisi itu sebenarnya membuat saya merasa bersalah karena sudah membuat dia merasa saya memberikan harapan tinggi terhadapnya. Mungkin dia belum bisa menangkap jalan pikiran dan cara saya menyikapi suatu hal secara mendalam, saya salah telah menggunakan cara ini yang membuatnya menangkap makna yang lain.

Sekarang ini hubungan kami berdua kembali membaik, walaupun saya tahu dia sempat menghapus nomor kontak saya dari telepon genggamnya dan saya memakluminya. Awalnya terasa canggung karena sebelumnya ketika kami berpapasan pun tidak ada sepatah kata yang kami ucapkan, ada sebuah Gunung Es diantara kami yang bahkan membuat kami tidak bertegur sapa, begitu dingin, keras, dan kaku. Kalau dipikir-pikir itu sangat lucu karena saya merasa itu bukanlah diri saya yang sebenarnya.

Salah satu dinamika kehidupan ini seakan-akan mengajarkan pada saya bagaimana sebuah hubungan atau relasi benar-benar sangatlah berharga. Ketika semua itu berubah menjadi sesuatu yang beku, kaku, dan keras maka semua itu tidak akan terasa menyenangkan. Maka biarkanlah ini menjadi salah satu proses pendewasaan bagi saya dan mungkin juga dia untuk menjadi manusia seutuhnya.

Semoga saja hubungan kami ini bisa membaik untuk seterusnya tanpa ada sebuah kesalah pahaman yang membuat Gunung Es diantara kami berdua muncul kembali. Kisah saya ini juga mungkin akan menjadi satir untuk seorang (atau beberapa orang?) pembaca yang sama-sama merasa ada Gunung Es dalam hubungannya dengan seseorang. Pecahkanlah Gunung Es itu segera sebelum semuanya menjadi semakin besar dan parah.

Bersama dengan keramaian, gelak tawa, segelas es teh tarik, lemon tea hangat, air putih, kopi, dan hujan tulisan ini dibuat..semoga hari anda menyenangkan..Cheers!

Tidak ada komentar: