“Dia memejamkan mata, merebahkan tubuhnya di tengah pada rumput di kaki gunung Merapi, dan bercerita tentang mimpi-mimpi indahnya sebelum ‘teman baiknya’ memeluknya mesra” (SAWOT)
Suara bising kendaraan mulai terdengar cukup keras di telinga ini namun mata masih menolak untuk terbuka. Kupaksakan perlahan untuk membuka mata ini membuka jendelanya untukku agar aku bisa melihat dunia. Akhirnya mata menyerah dan membukakan jendelanya untukku, seberkas cahaya pun masuk.
“Sudah pagi rupanya” kataku seraya melipat sarung yang aku kenakan untuk tidur. Aku pun segera mengambil pakaianku dan bergegas untuk pergi. Mandi? Jangan kau tanyakan hal itu padaku karena aku tidak begitu bersahabat dengannya.
“Mau kemana le?” tanya seorang wanita paruh baya itu kepadaku
“Biasa, sekolah” jawabku singkat sambil membuat sebuah simpul yang tampak tak begitu indah di sepatu hitamku yang sudah usang, “Aku pergi dulu mom” kataku sambil berlalu bagai angin.
“Oke, hati-hati” kata wanita paruh baya itu, dia hanya bisa menghela nafas melihat kelakuan anaknya ini. Dia terdiam sambil memandangi semua masakan yang telah di buat, seakan-akan semua itu tak berarti.
***
Motor tua ini kupacu dengan akselerasi maksimum, tapi masih kalah cepat dibandingkan motor-motor jaman sekarang yang bermesin canggih. Aku masih memacu motor tua ini dengan sekuat tenaga sambil berharap tidak terlambat untuk tiba disekolah.
Jalanku terhenti di perempatan Malioboro, lampu merah memaksa aku untuk itu dan tak bisa kulawan. Telepon genggamku berbunyi dan segera aku periksa. Sebuah pesan singkat masuk rupanya. Berpacu dengan waktu yang diberikan oleh lampu merah aku baca pesan singkat itu yang berbunyi “Loe dimana kil? Buruan dateng napa..tiap hari kerjaannya telat melulu..zzz”. Aku hanya tersenyum, lampu merah pun berganti dengan hijau, dan perjalanan ke sekolah pun berlanjut.
***
Segera saja aku duduk di bangku paling pojok di ruang kelas itu, kelas jurusan bahasa di sekolah ini, yang hanya berisi murid laki-laki. Guru belum datang dan kesempatan ini aku gunakan untuk menelpon gadis itu. Dan dia pun mengangkat telepon seraya memarahiku dengan nada yang cukup memekakan telinga
“Loe itu gila ya? Tiap hari kenapa telat mulu kalo dateng ke sekolah” kata gadis itu kepadaku dengan nada tinggi. Dia marah rupanya.
“Aku ki males je” jawabku singkat sambil tersenyum
“Bego banget sih jadi orang” kata gadis itu sambil menghela nafas. Dia sangat heran denganku aku, temannya ini yang selalu datang terlambat.
“Hahaha, kalo aku bego atau bodo, ya ndak mungkin aku bisa dapet ranking satu terus tiap semester” kataku dengan nada mengejek.
“Hmm, mulai lagi nih kebiasaan jeleknya. Ah udah, capek ngomong sama orang gila”
“Woo mutung og piye?” kataku dengan nada menggoda.
Dia dalam bayanganku seakan-akan memandangi diriku dengan tatapan jengkel yang mungkin sudah sampai tahapan yang luar biasa. Ia pun berkata “Sebodo amat!”. Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan kata-katanya itu, hanya dia yang bisa membuatku seperti ini.
Hey, aku belum memperkenalkan gadis itu pada kalian. Namanya Vincent dan aku lebih senang memanggilnya “cicik”. Bukan rasis, tapi kita berdua memang suka untuk saling mengejek, dia memanggilku “dekil” dan aku membalasnya dengan “cicik”. Kita berdua sudah kenal cukup lama, mungkin sudah hampir satu setengah tahun lamanya. Pertemuan yang bodoh dan mungkin akan membuat kami berdua tertawa terpingkal jika mengingatnya kembali. Darimana dia? Oh, dia berasal dari Jakarta, ya ibukota negara Indonesia itu dengan logat-nya yang khas. Dia datang untuk bersekolah disini, Yogyakarta, dan tinggal bersama tante-nya yang sudah kukenal cukup baik.
***
“Mana sih tuh anak, gila aja jam segini belom nongol” kataku dalam hati. Sudah hampir dua puluh menit aku menunggu kedatangan seorang laki-laki dengan dandanan dekil itu. Laki-laki yang bahkan jarang mandi walau aku sudah memaksanya berkali-kali untuk itu, apa susahnya sih mandi barang lima belas menit? Dasar laki-laki aneh!. Tiba-tiba aku mendengar suara laki-laki dari kejauhan, dan suara itu sangat familiar di telingaku ini.
“Hello cicik, long time no see!” kata laki-laki itu setengah berteriak
Aku menghela nafas, laki-laki ini memang aneh tapi sebenarnya dia pintar. Aku kesal ketika dia menggunakan kepintarannya untuk mengejek dan menggodaku tapi entah kenapa aku tak sanggup untuk itu. Aku pun menghampirinya
“Norak banget sih loe?” kataku sambil memandangnya dengan wajah anehku
“Yo sori lho, aku ndak ada mangsud, eh maksud, untuk itu” katanya sambil tersenyum
“Oke deh, tapi beliin gue es krim, baru deh gue maafin” kataku sambil tersenyum licik
“As you wish my queen, I’ll do it if it’s you command. You’re my queen after all, hehehe” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Bahasa Inggris lo bagus sih cuma terlalu medok”
Aku tertawa mendengar jawabannya itu. Kupandangi wajahnya yang masih tersenyum itu untuk sesaat. Aku menghela nafas, tampaknya aku selalu luluh dengan sikap dan senyumannya yang manis itu walau aku marah dan kesal karena dibuat menunggu cukup lama. Segera kukenakan helmku yang dibawa olehnya dan kami berdua pun pergi dengan motor tuanya.
***
Sepasang remaja ini sebenarnya lucu dan unik. Mereka saling mencinta tapi tak pernah mau berbicara tentang itu satu sama lain. Analogi-analogi pun muncul untuk membuat pihak satu dan yang lain cemburu buta. Si gadis yang bernama Vincent bercerita bahwa dia di senangi oleh banyak laki-laki, sedangkan si laki-laki yang bernama Seto bercerita bahwa dia sedang mendekati seorang gadis idaman yang lebih cantik dari Vincent.
Padahal hati kecil mereka berkata lain, hati kecil Vincent selalu berkata bahwa Seto lah yang terbaik untuknya dan hati kecil Seto berkata bahwa Vincent adalah yang terindah yang ada di hidupnya. Mereka selalu menampik itu dan tak pernah berbicara tentang apa yang hati kecil mereka katakan, walau itu sebenarnya cukup menyiksa mereka berdua. Mereka tersiksa karena harus bercerita tentang kepura-puraan dan kebohongan hanya untuk membuat satu sama lain terbakar api cemburu dan jengkel hingga salah satu pihak menyerah. Tapi kedua pihak tak ada yang mau mengalah.
Satu setengah tahun sudah berlalu dan mereka menjalani kisah mereka masih dengan cara yang sama.
***
Aku merasa aneh, Seto memintaku menemaninya ke rumah sakit. Dalam hati aku berkata “Tumben ini anak ke rumah sakit, bisa sakit juga ya dia?”. Tampaknya aku mengkhayalkan hal yang tidak-tidak segera saja aku mengambil jaketku dan turun ke bawah karena Seto sudah menungguku di ruang tamu.
“Tante, aku pamit dulu ya. Mau ada acara sama Seto, ndak tau mau ngapain” kataku pada tanteku. Damn! Logat yang aku punya terasa aneh jika dipadukan dengan bahasa Jawa
“Oh iya, hati-hati ya” kata tante “Nak Seto, tolong di jaga ya si Vincent ini jangan pulang terlalu larut malam nanti ndak enak sama tetangga”
“Injih tante, saya ngerti” kata Seto pada tante.
Kami berdua pun segera berpamitan. Suara motor tua Seto menduru cukup kencang ditengah keheningan sore hari ini. Kami pun pergi menjauh dari rumah tante
***
“Gue heran, sebenernya kita kerumah sakit mau ngapain sih? Elo sakit set? Emang lo bisa sakit ya?” kata Vincent kepadaku
“Asyem kowe, kita tuh mau njenguk saudara ku. Dia itu yang sakit, bukan aku” jawabku
“Oh, gue kira elo yang sakit” kata nya dengan nada datar
“Emang kamu bahagia kalo aku sakit? Ntar kangen lho kalo aku sakit” kataku sambil menggodanya
“Enak aja! Nggak bakalan gue kangen sama lo!” sanggahnya dengan nada tinggi
Kami berdua tertawa di atas motor tua ku ini. Ah, semoga saja apa yang dikatakannya itu benar, dia tidak akan rindu ketika aku sakit.
***
Hati ku berkata “Gue heran kenapa juga gue harus nunggu diluar rumah sakit gini ya?”. Seto berkata padaku untuk menunggunya sebentar untuk memeriksa apakah saudaranya sudah pulang atau belum. Dia berkata kepadaku “Sik yo, kamu tunggu dulu disini aja sebentar aku mau ngecheck dulu apa saudara ku masih ada atau sudah balik ke rumahnya”. Tapi ini sudah hampir empat puluh lima menit dan belum ada kabar dari dia, oke hati ini mulai kesal dan berkata “Gue capek nyet! Buruan dikit napa?”.
Aku melihat dari kejauhan sosok laki-laki berlari ke arahku. Akhirnya, dia tiba juga tapi aku kesal dibuat menunggu lama olehnya, sangat kesal.
“Lama amat sih lo! Emang lo nge-check sodara lo itu di belantara Afrika apa?” tanyaku dengan nada kesal
Dia tersenyum dan berkata “Sori tenanan iki, ternyata saudaraku udah balik. Lha ini lama tuh biasa, kan ini di Indonesia jadi semua serbat mbingungi”
“Alesan aja lo, pokoknya gue bete se-bete-nya orang yang lagi bete!”
“Wuaduh, susah kalo ini..yo aku minta maap sama kamu”
“Pokoknya enggak! Gue udah terlanjur bete!”
“Tak beliin es krim wis, tapi jangan marah lagi ya?”
“Gue enggak mau es krim!”
Dia berusaha untuk membujukku dengan berbagai macam cari agar aku tak marah dan kesal terhadap apa yang dia lakukan. Selalu saja aku luluh dengan permintaan maafnya yang selalu khas dengan caranya yang aneh-aneh.
“Oke, gue maafin lo. Dengan syarat tapi” kataku, hore! Aku merasa di atas angin melawannya jika dalam hal seperti ini.
“Apakah gerangan itu adinda?” katanya dengan nada humor
“Beliin es krim yang banyak buat persediaan di rumah tante gue selama satu minggu!” paksaku kepadanya
“Wuaduh, abot tenanan ning dompet iki judule. Tapi ya udah, kalo itu bisa membuat kamu senyum lagi aku nggak apa-apa deh” jawabnya dengan nada menyerah, dia kalah juga rupanya.
Akhirnya kami berdua pun kembali berputar-putar untuk mencari es krim, masih dengan motor tua laki-laki ini. Laki-laki dekil yang aneh tapi sebenarnya aku suka dengan dia! Kapan dia bisa ngerti?
***
Sudah hampir dua bulan Vincent merasa sangat sulit untuk menghubungi Seto. Bahkan Seto menjadi sangat sulit untuk ditemui. Ratusan kali dia menghubungi Seto melalui telepon genggamnya dan puluhan kali dia mencoba untuk main ke rumahnya semua itu sia-sia. Seto seakan-akan menghilang begitu saja. Ibu Seto pun selalu menjawab kepada Vincent bahwa anak laki-lakinya itu sudah pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang ketika malam sudah larut. Vincent merasa ada yang ganjil, dia memutar akal agar bisa bertemu dengan Seto.
Cara yang paling tepat adalah menghampirinya ke sekolah dan itu lah yang dilakukan olehnya. Dia menghentikan Seto saat dia sedang melaju dengan motor tuanya, Seto pun mau tak mau harus menghentikan motor tua-nya. Dia meminta Vincent untuk naik ke atas motor tuanya dan percakapan pun terjadi.
***
“Elo kemana aja sih! Gue nyariin lo tau nggak?” tanya Vincent kepadaku
“Hehehe, maap ya..maaaapp banget” kataku kepadanya sambil melihat wajahnya. Aku selalu ingat wajah itu, wajah yang selalu dia tunjukkan ketika sedang kesal. Aku juga bersalah karena menghilang cukup lama darinya tanpa kabar tapi sebenarnya bukan itu..
“Gue bingung tau nggak sih ketika lo ilang gitu aja..gue pikir lo marah sama gue sampe-sampe lo nggak mau ketemu sama gue” dia mengucapkan nada itu dengan nada sebal bercampur dengan khawatir. Dia takut aku marah kepadanya.
“Enggak kok, aku ndak marah sama kamu. Aku baru sibuk ada kerjaan buanyak. Temenku ngasih aku kerjaan soalnya”
“Seenggaknya elo bisa ngabarin gue lah!”
“Iya, mau-nya sih gitu cuma aku ndak ada pulsa, mau mbeliin po?” tanyaku sambil menggodanya
“Enak aja! Ogah gue” jawabnya sambil memukul helmku
Kami berdua tertawa, setidaknya hal ini bisa menahan semua ini untuk sementara. Ya, untuk sementara.
***
Kedua anak manusia ini kemudian bisa berbincang-bincang kembali. Semua begitu hangat dan kembali sepertinya sebelumnya. Mereka berdua menghabiskan waktu bersama, mengobrol dan berbagi cerita di warung kopi, berputar-putar keliling Yogyakarta untuk memotret keindahan yang ada, dan semua itu dilakukan hanya berdua tetapi tanpa ikatan status yang biasa disebut ‘pacar’. Kedua orang ini masih belum juga mengungkapkan apa yang ada dalam hati kecil mereka. Sampai saat itu tiba..
***
“Cent, si Seto kemana sih? Beberapa hari ini dia ndak dateng ke sekolah lho kalau dipikir-pikir sudah enam hari” tanya Mikael, teman baik Seto sekaligus teman kerjanya juga.
“Gue juga nggak tau, dia juga gak sms gue selama enam hari dan gue pikir dia baru sibuk kerja bareng lo” kataku pada Mikael
“Lha wong dia ndak masuk sekolah, apalagi kerja yo ndak dateng to yoo..” sanggah Mikael “Kamu cek ke rumahnya aja, kan kamu naksir sama dia, hahaha” kata Mikael kepadaku
Apa yang diucapkan Mikael benar, aku dan Seto memang makin dekat setelah dia menghilang untuk beberapa saat. Aku harap dia tidak menghilang lagi sebelumnya, semoga saja demikian.
“Oke Mik, nanti coba aku cek deh ke rumahnya” sambil menyalakan mesin motor baruku
***
Aku berjalan melintasi ruang dan waktu tanpa menghiraukan lalu lalang keramaian lain yang ada disekelilingku, yang aku pikirkan hanyalah bertemu dengan Seto, titik. Tak terasa tiba di perumahan tempat Seto tinggal dengan gang-gang yang cukup membingungkan. Aku mencoba untuk mengingat jalan ke arah Seto tinggal dengan seksama.
Sampailah disebuah gang dengan marka jalan yang cukup familiar dan aku pun mengarahkan motorku untuk berbelok kea rah kanan. Tapi hei, tunggu, rasanya aku melihat sesuatu yang aneh tapi mungkin itu hanya perasaankku saja. Dan aku pun melanjutkan perjalananku.
Di depan sana terlihat keramaian orang-orang, “ada apa ini?” pikirku dalam hati. Aku mencoba untuk mengamati di mana titik pusat kerumunan orang-orang itu dengan seksama. Astaga! Aku kenal baik dengan rumah itu. Itu rumah Seto!
Dengan segera aku pun bergegas menuju ke rumah itu. Segera kusandarkan motorku dan aku bergegas untuk mencoba menerobos kerumunan orang-orang tapi terlalu padat. Aku pun mencoba bertanya pada orang di sebelahku. “Bang, ini ada apa ya?” dengan nafas terengah-engah “Wah, saya yo ndak tahu je mbak” kata orang itu. Lantas ketika sebuah celah terbuka segeralah aku masuk ke dalam dan mencoba untuk masuk ke dalam rumah Seto
***
“Elo bodoh Set, kenapa coba lo senyum sendiri?” kataku kepadanya
Seto tidak menjawab, dia hanya terdiam membisu. Sebuah senyuman yang manis tampak di wajahnya.
“Ah, lo lama-lama bisa gila kalo senyum-senyum sendiri kil! Jangan bercanda gitu ah, nggak seru banget sih lo!”
Seto masih saja diam, dan hanya tersenyum tenang
“Gue nggak seneng cara bercanda lo deh, sumpah! Udah deh jangan bercanda lagi!..Elo lagi bercanda kan? Iya kan?”
Seto hanya diam, tersenyum tenang, wajahnya tampak pucat dan membiru.
***
Hujan menemani dinamika acara yang diadakan oleh keluarga besar Seto. Bau tanah yang terkena hujan dan bunga-bunga menjadikan aroma hujan menjadi lebih tajam, merdu, dan syahdu. Vincent terdiam, melihat semua itu.
Dia mencoba untuk menahan ledakan perasaan hanya untuk dirinya sendiri. Tapi tanpa sadar tangis itu terus keluar dari kedua matanya yang berwarna biru laut itu. Dia tidak bisa menghentikan tangisnya sampai akhirnya tangisan itu pecah di hadapan Seto yang sudah berubah bentuk menjadi batu yang bertuliskan tanggal lahir dan kematian. Ya, Seto sudah meninggalkan Vincent untuk selamanya tanpa sempat berkata selamat tinggal. Seto merasa akan sangat sedih ketika dia mengucapkan selamat tinggal kepada Vincent, orang yang dicintainya, dalam keadaan seperti ini.
Seto memang sudah menanggung beban yang berat sejak kejadian di rumah sakit dan saat dia menghilang dari Vincent. Dia terkena mengalami kanker otak yang memaksanya untuk mengakhiri hidupnya. Tapi dia tidak ingin memberitahu ini kepada orang yang sangat dia sayangi. Dia takut Vincent bersedih dan membiarkan dirinya menanggung beban itu sendirian tanpa memberitahukan hal tersebut pada orang lain.
***
“Tante mau kasih titipan terakhir Seto untuk kamu Cent” kata ibu Seto kepadaku sambil menyodorkan sebuah kotak berwarna putih dengan pita yang cukup manis diatasnya.
Aku tersenyum melihat itu, melihat kotak itu yang sangat-sangat manis untuk seorang Seto. Aku tersenyum namun tersenyum pilu. Dada ini terasa amat sakit.
Aku melihat kotak tersebut berisi barang yang pernah kuberikan padanya. Ada pula foto-foto lucu kami berdua saat momen-momen paling membahagiakan. Saat aku ulang tahun dan dia memberikan kejutan tetapi sempat dimarahi oleh tanteku, saat dia berulang tahun dan aku memberinya kejutan sebuah kecupan manis, dan saat melihat matahari sore di pantai Kukup, sesaat sebelum dia menghilang karena harus opname selama enam hari dan aku sama sekali tak tahu.
Aku melihat ada sepucuk surat, warnanya merah jambu dengan tulisan “For Vincent” dan aku pun membuka surat itu. Entah kenapa sekali lagi aku menangis padahal tulisan dalam surat itu sangatlah sederhana. Surat itu berbunyi :
“Maaf sudah berpura-pura untuk tidak mencintaimu, tapi aku tak bisa mengingkari itu. Ya, aku cinta kamu! Terima kasih untuk waktu yang singkat ini karena ini akan selalu berkesan dan akan kubawa ke alam sana.”
Aku hanya bisa menangis, menjerit keras, dan berharap sosokmu ada disini menemaniku dan mendekapku dengan hangat tapi itu tidak mungkin. Aku tak akan pernah membuang surat ini dan semua memori tentang kamu dan aku. Tidak akan pernah sampai aku menyusul ke alam sana nanti, secepatnya!
***
Ketika kita terlambat untuk mengucapkan kata “suka” atau “cinta” dan orang itu menghilang dari kehidupan kita mungkin kita hanya bisa menangis dan berharap dia yang kita cintai kembali tapi itu tak mungkin. Jangan pernah terlambat dan mengingkari hati, atau mungkin anda ingin seperti cerita diatas. Cukup anda dan Tuhan yang tahu..
Bersama dengan derasnya hujan dan kelamnya memori masa lalu tulisan ini dibuat. Semoga bisa jadi renungan kita semua. Cheers!
1 komentar:
boy, lo ke kemudian.com dah, di situ lo bisa post cerita cerita lo set.
dikasih poin sama dikomen juga. yang gaya bahasanya kayak kau banyak yang minat.
Posting Komentar